Oleh: Muhammad AS Hikam

Banyak pihak yg menganggap munculnya Agus Harimurti sebagai bacalongub dari Koalisi Kekeluargaan (KK) kubu Cikeas adalah kejutan dalam Pilkada DKI 2017. Tetapi buat saya pribadi yang menjadi kejutan adalah terlemparnya Prof. Yusril Ihza Mahendra sebagai bacalongub KK, kendati pakar ilmu tata negara dan mantan menteri tiga kali tersebut merupakan sosok yang sudah tak diragukan lagi kapasitas, elektabilitas, maupun popularitasnya. Mengapa hal ini bisa terjadi dalam perpolitikan Indonesia? Jawabannya bisa bervariasi, tetapi saya ingin menggunakan pandangan Yusril Ihza Mahendra sendiri sebagai titik tolak karena saya secara prinsipil memiliki pandangan yang mirip.

Yusril Ihza Mahendra mengatakan alasan terlemparnya beliau dari bursa cagub adalah “egoisme dan kepentingan perseorangan yang mengedepan dibanding perjuangan bersama.” Dalam beberapa tulisan, saya menyatakan bahwa dalam proses pencalonan ini kepentingan parpol dan elit parpol lebih diutamakan ketimbang kepentingan yang lebih besar yaitu rakyat DKI Jakarta dan Indonesia. Karena itulah walaupun publik sudah memberikan saran dan dukungan agar sosok seperti Yusril Ihza Mahendra dan Rizal Ramli diusung sebagai penantang sang petahana, pada akhirnya yang dipilih parpol-parpol tersebut adalah orang-orang yang sesuai dengan selera pribadi elit, termasuk keluarga sendiri! Parpol-parpol tersebut sudah sangat tahu bahwa calon mereka tidak akan mampu mengimbangi kedigdayaan sang petahana, tetapi tak akan peduli karena kekhawatiran bahwa mereka akan kehilangan kontrol dan tak akan diuntungkan secara pribadi dan kelompok.

Maka jalan nepotisme pun menjadi jalan paling mudah dan aman ketimbang jalan meritokrasi. Padahal nalar yang waras akan mengatakan bahwa tanpa pengalaman yang cukup dan dukungan publik yang kuat tidak mungkin orang akan berhasil menjadi alternatif pemimpin yang baik. Dan publik Jakarta saya kira cukup nalar dan cerdas untuk memahami calon-calon yang diusung parpol-parpol lawan petahana tersebut. Namun kekerdilan pribadi mereka mengalahkan pertimbangan nalar tersebut dan menganggap sepi aspirasi rakyat. Bisa jadi dalam pikiran elit parpol tersebut lebih baik kalah tetapi tetap memegang hegemoni partai ketimbang meriskir mendapatkan pemimpin yang aspiratif dan bermutu tetapi nanti tidak bisa mereka kendalikan!

Keterkejutan saya bukan karena gagalnya Yusril Ihza Mahendra sebagai calon, tetapi terutama karena rendahnya kualitas para pemimpin parpol itu. Mereka ini seharusnya sudah mampu melewati godaan ambisi karena beberapa pernah dan sedang berkuasa serta menduduki jabatan-jabatan tinggi di negeri ini. Nalar dan nurani yang sehat akan menyatakan bahwa mereka akan lebih mendahulukan kepentingan rakyat DKI, bangsa dan negara RI dalam momentum kritikal seperti Pilkada ini. Oleh sebab itu, dengan terjadinya peristiwa ini saya menilai secara firm bahwa para elit “egoistik” tersebut kualitasnya hanyalah politisi biasa, bukan para negarawan. Lingkup pikiran dan visi mereka hanya sebatas lima tahunan, bukan masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Tetapi para pemimpin parpol tersebut akan sangat keliru jika merka menganggap rakyat Indonesia bisa dikadali dengan segala retorika politik dan manipulasi citra terkait pencalonan tersebut. Cepat atau lambat, rakyat DKI, dan Indonesia umumnya, akan menunjukkan bahwa parpol tersebut tidak dikehendaki dan jika perlu ditinggalkan saja. Saat inipun tingkat kepercayaan (trust) rakyat kepada parpol dan DPR/DPRD (yang notabene isinya adalah politisi parpol) sudah berada pada level yang sangat rendah. Apalagi jika elit parpol tersebut tetap “mbidheg”, semau gue, dan cuek terhadap aspirasi rakyat! Na’udzubillah min dzalik! (*)