Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Presiden Joko Widodo kembali menegur jajaran menterinya karena kualitas komunikasi yang buruk. Kali ini presiden menilai komunikasi publik UU Cipta Kerja yang buruk.

“Buruknya komunikasi publik pemerintah disebabkan dua hal utama. Pertama, setiap kementerian berpikir parsial dalam mengelola informasi publik berdasarkan persepsinya masing-masing,” sorot Pengamat Komunikasi dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga, Jumat (23/10).

Akibatnya, lanjut pria yang kerap disapa Jamil ini, masing-masing menteri menyampaikan informasi publik yang sama dengan substansi berbeda. Akhirnya menteri satu sibuk meluruskan pernyataan menteri lainnya.

Menurut Jamil, perbedaan substansi informasi publik yang disampaikan sesama menteri, selain membingungkan masyatakat juga menggerus kredibilitas pemerintah.

“Dua juru bicara presiden yang ada saat ini selain dinilai tidak kredibel, juga kemampuan berkomunikasinya tidak baik. Berbeda halnya ketika juru bicara presiden Johan Budi, yang dinilai kredibel dan cara berkomunikasinya dapat diterima masyarakat,” papar pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Perbedaan itu tentu menghasilkan penerimaan yang berbeda. Jamil pun memaparkan, juru bicara presiden yang dinilai kredibel dan cara berkomunikasinya baik, tentu informasi publik yang disampaikannya akan lebih diterima masyarakat. “Minimal tidak langsung terjadi penolakan bila yang menyampaikan informasi publik dari sosok yang kredibel,” tandasnya.

Untuk memperbaiki buruknya informasi publik pemerintah, setidaknya perlu diperbaiki dua hal. “Pertama, perlu ada lembaga yang khusus menangani informasi publik. Lembaga itu sebenarnya sudah ada, tapi hingga saat ini belum difungsikan. Namanya Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas) yang ada di Kementerian Komunikasi dan Informatika,” ujar Jamil.

Sayangnya, kedudukan Bakohumas masih non struktural. Padahal kalau Bakohumas dijadikan struktur formal, maka lembaga ini dapat mengkoordinir 780 humas pusat dan daerah.

Karena itu, Bakohumas dapat diusulkan menjadi Dirjen Kehumasan. “Terserah apakah akan tetap berkedudukan di Kementerian Komunikasi dan Informatika atau di Sekneg,” katanya.

Tugas Bakohumas mengkoordinir informasi yang ada di Kementerian dan BUMN. Dengan tugas tersebut, Bakohumas dapat menjadi pusat informasi publik olahan dan mendistribusikannya ke 780 humas pusat dan daerah.

Kedua, mengganti juru bicara presiden yang kredibel dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. “Hal ini mendesak dilakukan karena tidak ada gunanya informasi publik dikemas dengan baik tapi disampaikan oleh orang yang tidak kredibel dan cara penyampaiannya tidak baik,” imbuh penulis Riset Kehumasan ini.

Menurutnya, kalau informasi publik akan didampaikan oleh juru bicara presiden, maka sebaiknya Bakohumas ditempatkan di Sekneg. Hal ini akan lebih memudahkan berkoordinasi dengan juru bicara presiden.

Tapi kalau juru bicara komunikasi publik diserahkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika, maka Bakohumas sebaiknya tetap ada di kementerian tersebut.

“Hanya saja menterinya memang layak diganti karena dinilai tidak kredibel dan kemampuan berkomunikasinya dinilai buruk,” pungkas Jamil. (jie)