How Democracies Die(twitter)

Kastara.ID, Jakarta – Pada Ahad (22/11) kemarin, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto dirinya sedang membaca buku berjudul ‘How Democracies Die.’ Buku karangan karangan Steven Levitsky and Daniel Ziblatt itu berisi tentang rusaknya “toleransi timbal balik” dan penghormatan terhadap legitimasi politik oposisi. Buku tersebut juga menjelaskan pentingnya pemerintah menghormati pendapat orang-orang yang memiliki pendapat politik berbeda secara sah.

Dalam foto yang diunggah melalui akun twitternya @aniesbaswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini terlihat santai sambil mengenakan sarung. Anies juga menuliskan, “Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi.”

Beberapa pihak menilai unggahan Anies tersebut tengah menyindir pihak-pihak tertentu. Wakil Sekretaris Jenderal Wasekjen PPP Achmad Baidowi mengatakan Anies tengah mencari perhatian publik. Menurutnya, Anies berusaha menarik perhatian agat publik menghubung-hubungkan foto tersebut dengan sesuatu.

Baidowi menilai tindakan Anies dilakukan demi menjaga elektabilitasnya di media sosial. Sebagai kepala daerah yang menduduki jabatan politik, menurut Baidowi popularitas di media sosial sangat penting dan harus dijaga.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arsul Sani mengatakan, daripada menerka-nerka lebih baik ditanyakan langsung ke Anies.

Sebab menurut Arsul, daripada menerka-nerka maksud postingan Anies tersebut lebih baik ditanyakan langsung ke Anies. Arsul menanyai Anies terkait pandangannya terhadap demokrasi pada kondisi RI saat ini menilai maksud dari unggahan foto tersebut hanya Anies yang tahu. Itulah sebabnya sebaiknya dikembalikan kepada Anies. Jika tidak, menurut Arsul akan muncul tafsiran-tafsiran sendiri dari masing-masing orang.

Politisi PDIP Andreas Hugo Pareira mengatakan, buku berjudul ‘How Democracies Die’ yang dibaca Anies tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Saat memberikan komentar, Ahad (22/11), Andreas melihat upaya pelemahan demokrasi di Indonesia justru dilakukan oleh kekuatan otoritarian theokrasi dengan cara memanfaatkan politik identitas.

Andreas juga menyebut kekuatan otoritarian theokrasi telah memanfaatkan politik identitas untuk memprovokasi masyarakat melawan pemerintah yang terpilih secara demokratis. Menurutnya, hal ini adalah tindakan antidemokrasi dan sangat berbahaya. Jika dibiarkan Indonesia bisa bernasib seperti Syria, Irak, Lybia. (ant)