Oleh: Putra Hadisantoso*

N.I.A.T. Sering kali kita dipaksa melihat, membaca, dan mendengar tentang sikap kebencian dan tidak menyukai satu sama lain, bahkan melecehkan. Sampai akhirnya tanpa disadari tercipta sebuah jurang yang justru mempersulit untuk saling memahami perbedaan itu sendiri. Bibit pemisah itu terus dipupuk tumbuh dan menciptakan kekaguman semu para penikmatnya. Luar biasa!

Entah apa enaknya hidup jadi terkotak-kotak, menganggap diri atau golongannyalah yang lebih baik, atau menganggap golongan yang lain mutlak salah. Saling tuduh, saling curiga, saling sindir, bahkan ada yang terang-terangan bersikap menantang. Itulah kehebatan-kehebatan yang sebelumnya tak pernah muncul, namun kini justru kerap menyita perhatian dibanding hal-hal yang menyejukkan hati.

Ujung-ujungnya tak ada yang diuntungkan. Malah kerugianlah yang didapat. Tak ada lagi sifat rendah hati, tapi justru hati yang kian meninggi. Dan yang paling menyedihkan adalah dengan menjual kapasitas dan kapabilitas diri yang terus dipacu untuk mendapat pengakuan khalayak dan mendapat simpati. Tak juga ada keinginan untuk melatih diri menyikapi perbedaan, termasuk membiasakan diri menelaah segala sesuatu sebelum berlanjut.

Saya pun masih belajar untuk jujur kepada diri sendiri dan belum bisa sepenuhnya melekatkan sifat rendah hati dalam berperilaku, bersikap, atau bertutur. Jadi masih perlu banyak belajar tentang kesadaran diri sebagai makhluk sosial tentang peran diri yang memang harus diakui tidak bisa hidup sendirian. Karena pertentangan dalam diri itu akan selalu ada setiap saat. Siapa pun bisa menjadi egois dan ekslusif walau pada akhirnya tidak akan menghasilkan kebaikan yang sempurna.

Dalam satu dasawarsa terakhir, perkembangan bersosialisasi sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, bahkan sebagai bagian dari sebuah komunitas begitu pesatnya. Eksis, narsis, egois, ambisius, dari yang halus seperti diayak berkali-kali, hingga yang tendensius, kehadirannya terasa lebih sadis dibanding upaya-upaya demi kemaslahatan khalayak.

Entah sampai kapan kita dipaksa memelototinya sebagai tontonan layaknya arena sirkus yang di setiap akhir atraksi selalu ada penghormatan dan keriuhan tepuk tangan. Dan rasanya semua akan menjadi hambar sehambar-hambarnya.

Itulah yang membuat saya malu dan seperti kebetulan karena tak sengaja sempat mencoba menghindar dari hiruk-pikuk dan gonjang-ganjing dalam bersosialisasi. Ada kenikmatan ketika jauh dari godaan dan gangguan gelombang frekuensi yang semakin kusut. Kenikmatan dalam diam. Tak banyak bicara. Juga tak mengumbar komentar keberpihakan. Hasilnya berupa puluhan ribu postingan diabaikan, pesan pribadi tak terbalas, telepon tak terjawab, dan rupa lainnya yang tak tersentuh.

Sampai akhirnya menemukan satu kata yang membuat kita yakin jika segala sesuatunya bisa terjadi atas izin-NYA dan satu kata itu adalah NIAT. Kekuatan niat itu nyatanya sangat dahsyat. (*)

*Pengamat sosial, tinggal di Depok