Oleh: Ena Nurjanah

MULAI tahun ajaran 2019/2020 pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengintegrasian data tersebut bertujuan untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan sistem pendidikan lainnya yang berbasis zonasi.

Integrasi data dari NISN menjadi NIK tercantum dalam nota kesepahaman antara Kemendikbud dan Kemendagri yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu.

Pergantian NISN menjadi NIK sungguh merupakan kejutan di awal tahun. Dengan tiba-tiba, muncul kesepakatan dua kementerian untuk menggantikan NISN menjadi NIK.

Mengapa harus diganti? Apa yang mendasarinya? Mengapa kebijakan yang akan berpengaruh terhadap anak didik dan para orang tua murid di seluruh Indonesia begitu mudahnya ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya? Begitu dibuat MoU langsung dengan segera diimplementasikan.

Tidak terlihat proses sewajarnya ketika membuat sebuah kebijakan, seperti melalui sosialisasi wacana, kajian, diskusi dengan berbagai pihak yang terdampak langsung dengan kebijakan ini, hasil penelitian yang kemudian didiskusikan agar menjadi kebijakan yang matang dan bukan asal-asalan.

Perubahan dari NISN menjadi NIK tidaklah sesederhana MoU yang dibuat di atas selembar kertas. Di level pelaksana kedua kementerian tersebut harus benar-benar memahami dan menguasai secara tehnis bagaimana proses pengintegrasian tersebut berlangsung sehingga tidak merusak data siswa yang berdampak merugikan.

Dan yang lebih penting lagi adalah kesepahaman antara kedua kementerian di tingkat pelaksanaannya, karena tanpa ada kesepahaman maka tidak akan pernah ada pelaksanaaan program yang sukses.

Yang harus menjadi perhatian pula adalah ketika muncul permasalahan terkait NISN pada seorang anak, ke mana orang tua harus mengadu?

Kebiasaan yang sering kali terjadi di satu kementerian saja persoalan tidak bisa tuntas karena solusinya dilempar ke sana ke mari. Sudah jelas terbayang beratnya
beban para orang tua mengurus hak pendidikan anak-anaknya yang akhirnya berdampak pula pada hak-hak pendidikan anak yang terhambat.

Ketika membahas tentang wajib belajar 12 tahun dan PPDB berbasis zonasi, masalah yang selalu menyeruak ke permukaan di antaranya adalah mengenai minimnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah yang cukup bagi semua anak Indonesia, serta jumlah sekolah negeri yang tidak memadai di setiap zonasi. Demikian pula dengan pemenuhan hak pendidikan setiap anak yang masih kurang direspons secara maksimal oleh pemerintah daerah sehingga masih ditemui anak-anak yang tidak sekolah maupun yang putus sekolah, serta kecurangan yang banyak muncul ketika PPDB.

Hal-hal itulah yang menjadi penyebab program tersebut berjalan lambat ataupun kurang maksimal. Tidak pernah sedikit pun ada pembahasan tentang NISN ternyata harus diganti NIK agar semua program tersebut menjadi lebih baik.

Langkah terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah menunda implementasi MoU tersebut. MoU dua kementerian tersebut masih terlalu dini. Pergantian NISN menjadi NIK tanpa ada pelibatan banyak pihak yang berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan hanya akan menambah persoalan baru dan bukan solusi baru.

Jangan sampai pemerintah mengorbankan hak pendidikan anak-anak dengan membuat kebijakan yang begitu sumir. (*)

(*) Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI