JIS

Oleh: Tony Rosyid

SELASA malam tanggal 19 April, masyarakat Indonesia disuguhi tontonan berkelas. Final Barcelona vs Atletico Madrid di JIS (Jakarta International Stadium) mengiringi soft launching stadion megah dan terbaik di negeri ini. Stadion yang secara teknologi dan kapasitas mengalahkan stadion milik Barcelona dan Real Madrid di Spanyol, Eropa.

Dalam ajang International Youth Championship (IYC) 2021 ini, Barcelona menang 1-0 atas Atletico Madrid. Jelang pertandingan usai, penonton bersorai dan memberi semangat para pemain, terutama ketika Atletico Madrid menggiring bola ke gawang Barcelona.

Riuh suara penonton menggema di stadion berteknologi modern ini. Apakah para penonton itu mendukung Atletico Madrid? Ternyata tidak. Penonton hanya ingin Atletico Madrid memasukkan satu gol ke gawang Barcelona sehingga goal imbang 1-1. Dengan begitu waktu akan diperpanjang dan penonton bisa dapat bonus untuk menikmati pertandingan dengan tambahan 30 menit.

Apalagi kalau sampai adu penalti, lebih seru lagi. Penonton akan mendapatkan kepuasan tersendiri. Meskipun mereka lupa, semakin larut malam, semakin dekat waktu sahur. Ini bulan Ramadhan.

Coba kalau pertunjukan tidak enak ditonton, penonton bisa bubar duluan. Boro-boro minta perpanjangan, pertunjukan belum selesai sudah ada yang teriak untuk diberhentikan. Apa yang terjadi di sepakbola, itu juga seringkali terjadi di dunia politik. Sama-sama sebuah pertunjukan.

Dengan berdirinya JIS, satu lagi prestasi buat Anies Baswedan, Gubernur DKI yang mewariskan karya spektakuler untuk Persija, Jakmania, warga Jakarta, dan para pecinta sepakbola di seluruh Indonesia.

Dengan anggaran Rp 4,5 triliun untuk membangun JIS, diharapkan sepakbola Indonesia ke depan mampu membangun prestasi di kelas dunia. Infrastruktur yang mendunia, kualitas sepakbola hendaknya juga ikut mendunia.

Indah jika politik dikelola dengan pola permainan ala sepakbola. Lihat permainan sepakbola, pertunjukan dua tim yang bermain akan enak ditonton jika pertama, tidak rasis.

Sepakbola tidak mengenal warna kulit. Bule dan negro mendapatkan kesempatan yang sama. Tidak ada diskriminasi. Semua yang memiliki kompetensi diberikan peluang untuk merumput.

Begitu juga dalam politik. Jika politik tidak membawa nama etnis dan kelompok organisasi, tentu akan enak diikuti. Semua pemain politik hendaknya adalah orang-orang yang berkompeten dan diberi kesempatan yang sama. Latar belakang kelompok, etnis, golongan dan organisasi tidak dipersoalkan. Itulah kebhinnekaan.

Tapi, jika rasisme terus dipelihara, diksi rasis terus ada dan dibiarkan, maka yang terjadi adalah kegaduhan. Sebuah pertunjukan yang tidak diisi oleh orang-orang karena kompetensinya, tapi oleh mereka yang pandai memainkan identitas sosialnya. Pasti pertunjukan akan tidak menyenangkan dan membuat semuanya gerah.

Di running text yang mengelilingi lapangan di JIS, ada tulisan “No Rasisme”. Tulisan ini seolah menjadi pesan: hindari rasisme jika sepakbola ingin menjadi pertunjukan yang bisa dinikmati oleh semua orang.

Kedua, ada kolaborasi. Barcelona menang atas Atletico lewat sontekan Xavier Moreno. Xavier tak akan berhasil menciptakan goal jika tidak mendapatkan rentetan umpan dari sekian orang yang ikut menggiring bola di timnya.

Inilah kolaborasi. Masing-masing mengambil perannya, dan Xavier Moreno bagian mengeksekusi. Apakah gol ini hasil Xavier Moreno seorang? Tidak! Gol ini adalah gol bersama, gol semua pemain Barcelona dengan semua tim ofisialnya.

Jika hari ini Anies mendapat banyak anugerah dan penghargaan di DKI, juga berhasil membangun JIS, maka jika ditanya: apakah ini hasil kerja Anies seorang? Anies pasti menjawab: Tidak! Ini hasil kerja semua pihak yang terlibat di Pemprov DKI.

Terkait dengan JIS, ini hasil kerja bersama, setiap pihak mengambil peran secara kolaboratif sehingga JIS ini terwujud. Ini hasil kerja dinas olahraga, Jakpro, Jaklingko, dan banyak pihak lainnya, termasuk Persija, Jakmania, dan seluruh warga Jakarta.

Jika tidak ada Persija, untuk apa JIS dibangun. Jika tidak ada Jakmania, enggak perlu ada tribun yang mampu menampung 80 ribu penonton.

Ketiga, panitia tidak culas dan wasitnya adil. Permainan akan fair jika wasit berlaku adil. Wasit tidak berpihak, meski dia suka Barcelona atau pendukung Atletico. Ia sedang berperan sebagai wasit, bukan sebagai pendukung. Yang salah diberikan sanksi, bahkan tak boleh segan mengeluarkan kartu kuning atau merah. Kalau wasit adil dan tegas, tak akan ada pemain yang semaunya melanggar.

Dalam politik, KPU adalah panitia, Panwaslu adalah wasitnya. Selain Panwaslu, ada lembaga yudikatif yang juga terlibat ketika menyangkut persoalan pidana. Kalau anggota KPU tidak culas,  Panwaslu fair, dan yudikatif adil serta tegas, maka tak akan ada pemain yang semaunya melanggar aturan.

Dengan begitu, maka yang keempat, pertunjukan akan berakhir dengan happy ending. Meskipun kalah, Atletico tidak menyalahkan wasit, tidak menyalahkan panitia, tidak juga menyalahkan lawannya.

Yang menang layak menikmatinya, yang kalah mau belajar dan memperbaiki kelemahannya, sehingga peluang untuk menjadi pemenang bisa diupayakan.

Yang bermasalah, jika kalah lalu marah terus mengutuk lawan. Enggak puas, sewa buzzer untuk mengganggu kemenangan lawan. Ini tentu enggak asik. Bukan jenis pertunjukan yang enak ditonton.

Begitulah permainan, akan menjadi pertunjukan yang enak dan memberi kepuasan kepada semua pihak jika empat unsur itu terpenuhi.

Kita berharap, politik di Indonesia menjadi pertunjukan yang indah seperti Barcelona vs Atletico Madrid Selasa malam lalu. Enak ditonton karena kualitas permainan diutamakan, kerja sama masing-masing pemain membentuk irama yang menakjubkan, panitia fair, wasitnya adil dan tegas. (*)

* Penulis adalah pengamat politik dan pemerhati bangsa.