Pelaksana Tugas Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta, Rizky Hamid memgatakan, pihaknya berkolaborasi dengan BPS Provinsi telah merampungkan SPHAD untuk melihat angka prevalensi kekerasan terhadap anak pada tahun 2022.

“Data statistik hasil SPHAD 2022 akan dipergunakan untuk penyusunan kebijakan, materi edukasi dan konseling terbarukan serta perubahan pendekatan pelaksanaan intervensi perlindungan anak secara lintas sektor,” ujar Rizky Hamid, Rabu (24/5).

Ia memaparkan, hasil SPHAD DKI Jakarta tahun 2022 menunjukkan sebanyak 44 dari 100 anak berusia 13 hingga 24 tahun mengalami tindak kekerasan dalam pertumbuhan.

“Angka prevalensi kekerasan terhadap anak (KtA) berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin memperlihatkan perbedaan. Angka prevalensi KtA  kelompok usia 13-17 tahun tercatat sebesar 46,55 persen, sementara umur 18-24 tahun sebesar 42,82 persen,” paparnya.

SPHAD DKI Jakarta 2022, lanjut Rizki, juga memberikan gambaran angka prevalensi KtA menurut jenis kelamin yakni kekerasan terhadap anak laki-laki usia 13-24 tahun sebesar 44,86 persen. Sementara, pada anak perempuan lebih kecil sebesar 43,84 persen.

“Artinya, ada 45 dari 100 anak laki-laki dan 44 dari 100 anak perempuan pernah mengalami kekerasan selama hidup,” tuturnya.

Ia menjelaskan, tiga jenis kekerasan yang dialami anak yakni emosional, fisik dan seksual. Secara berurutan, angka prevalensi anak yang mengalami kekerasan emosional sebesar 20,63 persen, kekerasan fisik sebesar 9,68 persen dan  kekerasan seksual 5,17 persen. Jenis kekerasan yang dialami anak selama hidup terkadang juga tumpang tindih.

“Data SPHAD DKI Jakarta 2022 menunjukkan  41 dari 100 anak mengalami kekerasan fisik sekaligus emosional; sebanyak 18 dari 100 anak mengalami kekerasan fisik sekaligus seksual, dan terdapat 24 dari 100 anak mengalami kekerasan seksual sekaligus emosional,” jelasnya.

Ia menambahkan, merujuk dari data statistik hasil SPHAD 2022, Dinas PPAPP DKI Jakarta mengutamakan pelaksanaan kegiatan perlindungan anak dalam 3 (tiga) aspek. Pertama, memperkuat kerja sama lintas sektor yang melibatkan perangkat daerah, lembaga pemerhati anak, dunia pendidikan dan masyarakat.

Kedua, mengintegrasikan program perlindungan anak ke dalam berbagai kegiatan dunia pendidikan untuk mempromosikan pencegahan kekerasan sejak dini, ke dalam pendidikan kesehatan reproduksi, pembinaan calon pengantin dan pelayanan sosial.

“Aspek ketiga, memperkuat pelayanan edukasi, pencegahan dan pendampingan yang dilakukan oleh lembaga layanan perlindungan anak,” tandasnya. (hop)