Taufik smail

Oleh: Jaya Suprana

KALAU engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten. Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas  yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu.

Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Taufik Ismail
Puisi berjudul “Kerendahan Hati” tersebut di atas adalah mahakarya penyair yang dilahirkan di Bukit Tinggi 23 Juni 1935, Drh. Taufik Ismail. Tanpa mengurangi rasa hormat dan kagum terhadap Rendra, terus terang saya akui bahwa saya juga menghormati dan mengagumi Taufik Ismail. Di rak perpustakaan pribadi saya, di samping kumpulan puisi Murasaki, Dickinson, Whitman, Shakespeare, Ovid, Homer, Carrol, Hafiz Ibrahim, Pushkin dan lain-lain, juga terdapat kumpulan puisi Taufik Ismail yang terhimpun pada tiga jilid buku berjudul “Dust On Dust”. Tiga buku kumpulan sajak Taufik Ismail dalam bahasa Indonesia dan Inggris tersebut memiliki makna istimewa bagi diri saya sebab dihadiahkan langsung oleh Taufik Ismail kepada saya sebagai hadiah tambah usia saya yang ke 69 tahun (maaf, saya menghindari istilah Ulang Tahun yang jelas keliru sebab tahun belum bisa diulang).

Saya juga tidak bisa melupakan kerendahan hati pak Taufik berkenan memberikan pujian khusus kepada saya seusai membacakan puisi karya sendiri tentang penggusuran rakyat padahal saya sama sekali tidak membaca puisi itu sebab puisi itu total tanpa kata sebagai ungkapan bahwa memang tidak ada kata mampu melukiskan kesedihan sanubari saya ketika menyaksikan warga Bukit Duri digusur secara sempurna melanggar hukum pada tanggal 28 September 2016. Dalam gelisah menghadapi pageblug Corona, ketimbang ketinggian hati maka kerendahan hati justru menjadi makin dibutuhkan demi memperkuat daya tahan batin manusia.

Kerendahan Hati
Saya terkesan atas kerendahan hati sang mahapenyair Nusantara mantan kepala LPKJ sebelum menjadi IKJ, sejak mengikuti polemik industri hiburan adu jotos pada masa puncak popularitas tontonan manusia adu tinju gegara Muhammad Ali. Taufik Ismail secara sendirian melawan arus (termasuk anak-anak Taufik sendiri dan saya yang terus-terang gemar nonton orang adu jotos) dengan menggubah sajak “Memuja Kepalan, Menghina Kepala” secara indah mengungkap keyakinan anti kekerasan sang dokter hewan, yang sempat merangkap pemimpin redaksi majalah Horison nan legendaris.

Kerendahan hati bukan sekedar rekayasa pencitraan namun secara kodrati sudah mendarah-daging pada diri Taufik Ismail. Setiap kali berjumpa dan mendengar Taufik Ismail bertutur-kata, saya senantiasa takjub atas aura kerendahan hati sang putra terbaik Indonesia penerima anugrah South East Asian Writer Award dan Bintang Budaya Parama Dharma tersebut.

Setiap kali saya membaca dan/atau mendengar sajak Taufik Ismail dibaca oleh dirinya sendiri mau pun orang lain, sukma saya tergetar bukan hanya akibat kekaguman namun keterharuan atas keindahan tutur kata dan kalimat yang terkandung di dalam mahakarya sastra mahasastrawan Nusantara. Adalah puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” yang menginspirasi saya untuk tidak malu mulai mempelajari apa yang disebut sebagai malu sebagai lanjutan kelirumologi yang kemudian tersurat di dalam buku Malumologi.

Menurut pendapat saya, meski Taufik Ismail bukan orang Jawa namun beliau justru lebih Jawa ketimbang orang Jawa sebagai personifikasi dalam wujud lahir-batin falsafah Jawa yang paling saya upaya hayati yaitu Ojo Dumeh. Saya sengaja menulis naskah ini pada tanggal 24 Juni 2020 sehari sebelum 25 Juni 2020 sebagai hadiah hari tambah usia ke 85 tahun Taufik Ismail. Maka dengan penuh kerendahan hati saya mengucapkan “Selamat Bertambah Usia Menjadi 85 Tahun, pak Taufik Ismail!” (*)

* Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.