Ramadan

Kastara.id, Jakarta – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta perwira TNI/Polri untuk ikut mensosialisasikan pencapaian program kerja pemerintah (23/8) bisa mengingatkan publik pada doktrin Dwi Fungsi TNI/Polri di masa lalu. Demikian disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi melalui keterangan resminya, Jumat (24/8).

Hendardi mengingatkan, ketika itu dua intitusi negara tersebut digunakan oleh Soeharto sebagai garda terdepan dalam upaya memenangi kontestasi politik dan menjaga stabilitas keamanan.

Di sisi lain, Hendardi juga menilai bahwa permintaan Jokowi dalam batas-batas tertentu bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran UUD Negara RI Tahun 1945.

Hendardi pun menukil pasal 30 ayat (3) dan (4) UUD yang menegaskan bahwa TNI adalah alat pertahanan negara, sedangkan Polri adalah aparat keamanan dan penegak hukum. Hubungan presiden dengan TNI dan Polri merupakan hubungan kenegaraan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara.

Jika TNI dan Polri diminta mensosialisasikan kinerja pemerintah, maka TNI dan Polri bisa dianggap melanggar konstitusi. Dua institusi ini bukanlah anggota kabinet yang berkewajiban mensosialisasikan kinerja pemerintah. “Bahkan, untuk memastikan netralitas anggota, TNI/Polri hingga kini belum diberi hak pilih oleh perundang-undangan Indonesia,” ujar Hendardi.

Makna netralitas TNI/Polri, lanjut Hendardi, menuntut semua pihak untuk tidak sedikit pun menyeret dua institusi ini pada setiap hajatan politik republik. Menurutnya, mereka hanya ditugasi memastikan keamanan terjaga dan penegakan hukum yang adil.

Meskipun demikian, Presiden Jokowi kemungkinan punya maksud lain dengan pernyataan itu. Bisa jadi maksud utamanya adalah agar TNI/Polri menjaga kondusivitas dan stabilitas keamanan dengan memastikan hoax yang tersebar di tengah masyarakat terkait kinerja pemerintah haruslah diluruskan, karena bisa mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

“Jadi permintaan ini dalam kerangka upaya penegakan hukum dan keamanan. Sebagaimana diketahui, materi hoax menjelang pemilu bukan hanya soal identitas SARA tetapi juga informasi capaian kinerja pemerintah yang dipalsukan dengan tujuan membangun kebencian pada presiden yang berkuasa,” ujar Hendardi..

Namun Hendardi mengingatkan bahwa pernyataan Jokowi tersebut butuh pemaparan lebih lanjut. Tanpa penjelasan lebih detail, pernyataan Jokowi akan mengundang kontroversi yang justru akan melemahkan kepemimpinan Jokowi dalam menjaga integritas sistem ketatanegaraan.

“Jadi, sebaiknya Jokowi memberikan penjelasan lebih detail, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru di tahun politik,” pubgkas Hendardi. (lan)