Oleh: Muhammad AS Hikam

Kompetisi merebut posisi orang nomor satu dan dua di Ibukota Jakarta, naga-naga-nya hanya merupakan sebuah pagelaran politik yang antiklimaks atau “ramai tapi gersang.” Prediksi muram ini berdasarkan atas asumsi bahwa parpol-parpol yang bukan pendukung petahana, yang popular dengan nama ‘Koalisi Kekeluargaan’ (KK), gagal untuk menampilkan pasangan calon (paslon) yang memiliki kekuatan seimbang dan/atau alternatif yang mampu mengalahkan paslon petahana, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat. Variabel paslon ini sangat penting, sebab dalam Pilkada langsung di seluruh Indonesia, penentu utama kemenangan terletak pada sosok paslon, dan bukan pada jumlah parpol yang mendukung.

Seperti kita ketahui, Koalisi Kekeluargaan dengan dua kubu di dalamnya, telah mengumumkan dua paslon. Kubu KK Cikeas, yang terdiri atas Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, menetapkan pasangan Agus Harimurti dan Sylviana Murni. Sedangkan kubu KK Kertanegara, yang terdiri atas Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, menetapkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Walhasil, jika semua paslon ini mulus dalam tahap pendaftaran di KPUD, maka Pilkada DKI akan memiliki tiga pasangan kontestan:
1) Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat (petahana);
2) Agus Harimurti- Sylviana Murni; dan
3) Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Tanpa berpretensi mendahului takdir, untuk sementara saya menduga bahwa dengan dua paslon KK itu, Pikada DKI 2017 akan sulit diharapkan berlangsung kompetitif, alot, dan menghadirkan pilihan menarik bagi pemilih. Sebaliknya, perhelatan demokrasi lima tahunan itu walaupun mungkin akan berlangsung dengan riuh dan ramai, tetapi tetap gersang secara substansi karena probabilitas terjadinya perubahan cukup kecil. Alasan saya sederhana saja, yaitu tidak adanya kesetaraan (level playing field) antara paslon petahana dengan kedua paslon lawan dalam hal popularitas, elektabilitas, dan kapasitas, serta lingkungan strategis (lingstra) Jakarta yang saat ini dihadapi para penantang sang petahana.

Berdasarkan hasil berbagai survei yang pernah dilakukan sampai hari ini (24/9), figur-figur paslon penantang petahana itu tidak satupun yang mampu merendenginya dalam hal popularitas maupun elektabilitas. Orang bisa berdebat bahwa hasil survei-survei yang akan datang bisa saja berubah, tetapi itu soal lain dan masih harus dibuktikan. Dari aspek kapasitas, barangkali hanya Sylviana Murni saja yang pernah berpengalaman langsung menangani masalah kongkret di DKI, sehingga kapasitas beliau cukup tinggi. Tetapi faktanya Sylviana ‘cuma’ diposisikan sebagai cawagub oleh KK Cikeas. Selain Sylviana, hemat saya, semua sosok calon dari KK tidak memiliki kapasitas itu.

Kelemahan tersebut akan berdampak terhadap strategi pemenangan mereka. Dalam rangka melemahkan kredibilitas sang petahana, baik paslon AH-SM maupun AB-SU akan lebih tergantung pada strategi cipta opini dan pencitraan negatif terhadap lawan, bukan pada kekuatan platform politik dan/atau capaian mereka. Dengan kata lain, kampanye mereka akan mendaur ulang isu-isu yang selama ini sudah sering dimunculkan oleh para penolak kembalinya Ahok sebagai DKI-1. Misalnya isu-isu Ahok adalah Gubernur pro-pengembang, tidak pro-rakyat, lamban dalam menyelesaikan banjir dan kemacetan lalu lintas, tingginya pengangguran, penggusuran kawasan yang dihuni rakyat mikin, dan sejenisnya.

Tentu saja masih terbuka kemungkinan penggunaan kampanye hitam yang bernuansa SARA, kendati semua parpol dan paslonnya akan menolak dikaitkan dengan hal itu. Pertanyaan utamanya adalah apakah strategi kampanye negatif dan pencitraan itu efektif untk membalik simpati para pemilih potensial di Jakarta dari paslon petahana? Saya masih meragukannya. Sebab berdasarkan hasil jajak pendapat yang sudah dilakukan sampai saat ini, berbagai upaya melemahkan popularitas dan elektabilitas Ahok dengan memakai strategi itu tak terlalu signifikan pengaruhnya. Selain itu, kondisi lingstra Jakarta saat ini berbeda dengan saat Pilkada 2012 berlangsung. Ketika itu, petahana Gubernur Fauzi Bowo atau Foke, berhasil dikalahkan oleh penantangnya, Jokowi-Ahok, sebab rakyat Jakarta mengalami sebuah impasse politik. Rakyat mengharapkan adanya perubahan fundamental, bukan business as usual, dalam tata kelola Pemerintahan DKI. Dan Jokowi-Ahok tampil sebagaimana yang dikehendaki pemilih. Mereka mewakili energi muda yang menggebu, semangat baru, dan pendekatan tata kelola baru. Itu semua ditopang oleh rekam jejak keberhasilan di daerah yang mendapat pengakuan nasional dan internasional.

Dalam Pilkada 2017 saat ini, para paslon penantang berada dalam lingstra yang berbeda sama sekali. Tambahan pula mereka juga belum memiliki bukti-bukti capaian kongkret sebagai pejabat eksekutif. Akan sangat menarik jika nanti digelar debat publik mengenai platform dan capaian kerja seperti Basuki-Djarot. Prediksi sementara saya, lawan-lawan Basuki-Djarot akan “keteter” jika berdebat mengenai ihwal yang substantif terkait manajemen Pemerintahan DKI dan berbagai solusi kongkrit dalam menjawab berbagai tantangan penting di ibukota.

Saya pernah mengatakan bahwa jika Pilkada 2017 diikuti oleh para penantang petahana yang tak memiliki kualitas ‘pengubah permainan’ atau ‘game changer‘, maka event ini hanyalah sebuah peneguhan kembalinya paslon petahana sebagai Gubernur dan Wagub DKI. Bisa saja hajatan tersebut berlangsung sampai dua putaran, bising, dan bahkan gaduh, tetapi hasil akhir (end game)-nya sudah bisa diketahui. Alih-alih menjadi ajang kontestasi politik yang bermutu, Pilkada 2017 DKI malah kian meneguhkan dugaan bahwa parpol penantang sang petahana dan para elitnya lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat dan bangsa. Karena mereka gagal menghadirkan calon-calon pemimpin yang bermutu, berintegritas, dan unggulan. (*)