Oleh: Muhammad AS Hikam

Sangat menarik untuk mengikuti dan mencermati kiprah para tokoh-tokoh kondang dalam ormas Islam besar Muhammadiyah akhir-akhir ini. Siapa yang tak tahu nama-nama besar seperti Din Syamsuddin, Buya Syafii Maarif, Amien Rais, dan Haedar Nashir. Ketiga pertama adalah para mantan Ketum PP Muhammadiyah dan yang terakhir adalah Ketum yang kini sedang menjabat. Yang saya anggap menarik adalah bagaimana keempat tokoh besar tersebut menyikapi kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh petahana Pilkada DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Din Syamsudin dalam beberapa waktu terakhir ini gencar menyampaikan pernyataan-pernyatan yang kritis terhadap Pemerintah PresidenJokowi, terutama terkait dengan sikap yang diambil beliau dalam menghadapi para pendemo yang menuntut agar Ahok segera ditahan dan dipenjara. Din Syamsudin turut lantang menuntut Polri agar Gubernur DKI non-aktif tersebut segera ditahan. Tentu saja Ketua Dewan Penasihat MUI tersebut juga menyakini bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama, karena sebagai non-Muslim telah ikut-ikutan melibatkan dirinya dalam urusan kitab suci agama Islam.

Din Syamsudin membantah pandangan Kapolri mengenai kemungkinan adanya pihak yang akan melakukan makar dengan menunggangi aksi demo yang direncanakan pada 2 Desember atau 212. Menurutnya, isu makar itu berlebihan karena jika ada yang ingin menunggangi aksi demo 212 pasti akan ditolak oleh para peserta sendiri. Demo tersebut, masih kata Din Syamsudin, adalah murni masalah tuntutan penegakan hukum, bukan politik.

Sikap Din Syamsudin klop pandangannya dalam soal kasus Ahok ini dengan pandangan mantan Ketum Muhammadiyah yang satu lagi, yaitu Amien Rais yang juga sangat keras dalam menyikapi kasus itu. Amien Rais bahkan ikut bergabung dalam aksi demo 411 bersama tokoh Islam garis keras seperti Habib Rizieq dan lain-lain. Bagi Amien Rais, Presiden Jokowi dianggap kurang tegas dalam menuntaskan kasus tersebut. Dalam sebuah tulisannya, mahaguru dari UGM mengatakan bahwa Presiden Jokowi “gamang” antara menuntaskan kasus tersebut secara hukum dengan kemarahan pemilik modal yang “telah banyak membiayai kampanye Anda sewaktu maju Pilkada Jakrta dan kenudian pilpres…”.

Pandangan kedua mantan Ketum PP Muhammadiyah itu tentu sangat berlawanan dengan pandangan Buya Syafi’i Maarif, yang sejak awal menganggap isu penistaan agama yang ditudingkan kepada Ahok tidak tepat. Syafi’i Maarif malah menyesalkan sikap MUI yang beliau anggap terburu-buru mengeluarkan fatwa tentang penistaan tersebut yang akhirnya menjadi salah satu alat legitimasi bagi pihak-pihak anti-Ahok untuk memobilisasi kekuatan. Syafi’i Maarif, seperti kita tahu, kemudian menjadi target kecaman dan bully di media sosial. Bahkan para pengecam mahaguru sejarah itu juga datang dari kalangan Muhamnadiyah sendiri!

Akan halnya Ketum Muhamnadiyah yang sekarang, Haedar Nashir, beliau cenderung lebih apresiatif terhadap komitmen Presiden Jokowi dan Polri dalam menuntaskan kasus ini secara hukum. Karena itu, beda dengan Din Syamsudin, Haedar Nashir tidak tertarik untuk mendukung aksi demo 212. Haedar Nashir mengimbau warga Muhammadiyah untuk mengikuti dan mengawal proses hukun yang sedang berjalan, ketimbang ikut demo tersebut. Haedar Nashir juga tidak mengikuti pandangan Amien Rais mengenai Presiden Jokowi dan lebih fokus kepada masalah penyelesaian hukum. Namun Haedar Nashir juga berbeda dengan Syafi’i Maarif karena tidak otomatis megatakan bahwa tuduhan penistaan agama kepada mantan Bupati Belitung Timur itu keliru.

Walhasil, empat tokoh dari salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini tidak satu paham dalam menghadapi kasus ini. Namun hemat saya, yang lebih terekspos di media massa jelas adalah pandangan Amien Rais dan Din Syamsudin. Bahkan dalam hal imbauan PP Muhammadiyah agar tidak mengikuti demo 212, ada pandangan yang berbeda seperti yang disampaikan oleh pimpinan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). IMM diberitakan tetap akan mengirimkan anggotanya dalam demo yang diorganisir oleh GNPF-MUI tersebut.

Apakah arti dari dinamika pandangan para tokoh besar Muhammadiyah tersebut? Secara positif hal itu bisa dianggap sebagai indikator kualitas demokrasi yang baik dan perlu diapresiasi. Secara negatif hal itu bisa dimaknai bahwa masalah yang terkait dengan politik identitas ternyata tetap merupakan permasalahan yang belum terselesaikan secara memuaskan. Mungkin bukan hanya di kalangan elit Muhammadiyah saja tetapi juga di ormas Islam lain. Apalagi di lapisan bawah…. (*)