Kastara.ID, Palembang — Sejak disahkan 18 tahun silam, Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sudah menjadi payung hukum yang penting dalam menggeliatkan sektor kelautan dan perikanan. Selama rentang waktu tersebut juga banyak agenda penting yang dilaksanakan oleh negara berdasarkan UU tersebut. Namun, dari tahun ke tahun tantangan perikanan semakin kompleks. Salah satunya terkait besarnya potensi budidaya perikanan berbasis kearifan lokal, tetapi aturannya masih minim.

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, keberadaan UU Perikanan dinilai sudah tidak bisa mengikuti kompleksitas perkembangan sektor kelautan dan perikanan. Padahal, di saat yang sama, stakeholder sektor perikanan baik itu Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha sektor perikanan dan lainnya harus terus melakukan inovasi untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.

“Agar Undang-Undang Perikanan bisa terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, maka pilihan terbaik adalah melakukan revisi agar tata kelola sektor perikanan bisa berkelanjutan. Selain soal kelembagaan wilayah pengelolaan perikanan dan pola hubungan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, muatan lain yang perlu diperkuat dalam revisi undang-undang ini adalah terkait pengaturan tentang perikanan budidaya yang memperhatikan kearifan lokal. Aturan terkait hal ini masih minim, baik dalam UU Perikanan maupun regulasi turunannya lainnya,” ujar Fahira Idris di sela-sela Kunjungan Kerja Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan di Kota Palembang, Sumatera Selatan (24/1).

Menurut Fahira, selain punya potensi ekonomi, budidaya perikanan berbasis kearifan lokal adalah langkah tepat dan strategis menjaga keberlanjutan ikan-ikan unggulan di satu daerah. Ikan-ikan lokal yang mulai tergerus populasinya akibat penangkapan yang tidak terkontrol, misalnya ikan Belida yang merupakan bahan baku makanan khas empek-empek yang kini langka harus bisa dijaga ketersediaan dan kelestariannya.

Selain itu, agar budidaya berbasis kearifan lokal di daerah-daerah berhasil atau bukan sebatas menjadikan kampung budidaya sebagai tempat produksi tapi juga sekaligus pusat pertumbuhan ekonomi yang menelurkan kegiatan-kegiatan ekonomi lain (multiplier effect), harus didahului dengan riset atau telaah yang mendalam baik dari sisi sosial, lingkungan hingga pasar.

“Jadi dalam pandangan saya, penguatan soal budidaya perikanan berbasis kearifan lokal dalam revisi UU Perikanan bukan hanya sebatas mengacu pada cara budidayanya saja, tapi juga komoditas yang dibudidayakan. Sebagai contoh, ke depan, jika revisi undang-undang ini terealisasi maka akan ada banyak kampung budidaya ikan Belida di Sumatera Selatan, sehingga ikan ini tidak lagi langka dan bisa dijadikan potensi baru pemberdayaan ekonomi rakyat,” pungkas Senator Jakarta ini. (dwi)