Virus Corona

Oleh: Fadil Aulia

BEBERAPA waktu belakangan ini masyarakat dunia dihebohkan dengan munculnya suatu virus yang mematikan yang disebut dengan Virus Corona atau Covid-19. Virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China, sejak pertengahan Desember 2019 sampai sekarang ini masih menjadi sesuatu hal yang menakutkan, tak terkecuali di Indonesia.

Virus Corona masuk ke Indonesia pertama kali pada awal Maret 2020, dan sampai sekarang virus tersebut masih menjadi persoalan yang mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Salah satu keseriusan pemerintah Indonesia itu terlihat bahwa melalui Kementerian Keuangan, pemerintah Indonesia akan mengeluarkan anggaran sekitar Rp 27 triliun untuk penanganan virus corona tersebut.

Besarnya anggaran yang akan dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk penanganan virus corona tersebut tentunya menjadi kewaspadaan bagi banyak pihak, salah satunya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK diharapkan mampu mengawal penggunaan anggaran yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk penanganan wabah virus corona, agar anggaran yang dikeluarkan tersebut tidak disalahgunakan.

Ketua KPK Firli Bahuri mengingatkan semua pihak untuk tidak melakukan praktik korupsi di tengah pendemi virus corona di Indonesia. Kemudian, Firli Bahuri juga menegaskan bahwa korupsi saat wabah corona ancamannya pidana mati.

Pernyataan Ketua KPK mengenai ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi saat wabah corona tersebut ternyata cukup menghebohkan banyak pihak. Sebagian menyatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang harus dilakukan, walaupun masih meragukan apakah KPK berani melakukan hal tersebut dan sebagian lainnya menyatakan bahwa pidana mati tidak dapat dijatuhkan dan Ketua KPK tersebut tidak paham akan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lalu bagaimana?

Dalam kaca mata hukum, hukuman mati adalah hukum terberat sesuai adagium mors dicitur ultimum supplicium. Artinya hukuman mati tidak dapat dijatuhkan begitu saja. Pidana mati dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan kejam yang dilaksanakan oleh negara sebagai representasi korban bagi pelaku yang bermoral buruk. Konsekuensi dari pada pidana mati sebagai hukuman yang terberat tersebut ialah banyaknya pro dan kontra terhadap pidana mati itu sendiri. Kalangan pro dan kalangan kontra akan pidana mati sama-sama kuatnya dengan argumentasi yang berbeda-beda. Sudah banyak negara yang menghilangkan pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman bagi pelaku tindak pidana. Akan tetapi di sisi lain masih terdapat negara yang melakukan pengaturan terkait pidana mati tersebut.

Indonesia sendiri pada dasarnya masih mengakui secara tertulis terkait keberadaan pidana mati dalam hukum positif. Pengaturan tersebut salah satunya terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tersebut dikatakan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan dalam hal setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dilalukan dalam “keadaan tertentu”.

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor bahwa yang dimaksud “keadaan tertentu” di sini ialah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tersebut jelas memberikan beberapa point terkait penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pertama, pidana mati dalam UU Tipikor adalah sebuah pilihan. Kata “dapat dijatuhkan” yang ada dalam pasal 2 ayat (2) menunjukkan bahwa pidana mati adalah sebuah pilihan. Artinya hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana mati atau jenis pidana lainnya terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Kedua, pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila seseorang melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang akan dikeluarkan oleh negara untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan lainnya sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Melihat masifnya penyebaran virus corona dan banyaknya korban yang berjatuhan, maka keadaan sekarang ini dapat dikategorikan sebagai kondisi genting atau keadaan bahaya. Itu artinya seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang yang akan dikeluarkan oleh negara untuk penanganan virus corona, maka seseorang tersebut dapat dijatuhkan pidana mati. Akan tetapi, di sisi lain dengan berdasarkan kepada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dan penjelasannya, maka tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu saat wabah covid-19 pada dasarnya tidak dapat dijatuhkan pidana mati.

Jadi penekanan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan wabah covid-19 hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku korupsi dana-dana penaganan covid-19 bukan terhadap pelaku korupsi pada saat wabah covid-19. Karena bisa saja tindak pidana korupsi yang dilakukan pada saat wabah covid-19 bukan terhadap dana-dana penaganan wabah covid-19 akan tetapi terhadap keuangan negara lainnya. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada