Batubara

Kastara.ID, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan regulasi yang mengatur tentang tata cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan usaha pertambangan mineral dan batu bara (Minerba).

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2020, tentang tata cara pemberian wilayah, perizinan dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan minerba.

Permen yang ditandatangani oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif itu sekaligus mencabut sebagian maupun seluruhnya Peraturan Menteri ESDM nomer 48 tahun 2017, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2018, Permen nomor 22 tahun 2018, Permen Nomor 51 tahun 2018.

Salah satu poin dalam regulasi ini mengatur perubahan waktu revisi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) produksi batu bara.

Dalam Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 Pasal 89, revisi RKAB perusahaan dapat mengajukan revisi RKAB dengan menyampaikan laporan periode kuartal pertama dan paling lambat 31 Juli pada tahun berjalan. Pengajuan revisi RKAB ini tak lagi dibatasi terkait kapasitas produksi.

Di regulasi sebelumnya yakni Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2018 revisi RKAB dapat diajukan satu kali pada tahun berjalan, apabila terjadi perubahan tingkat kapasitas produksi.

Perubahan RKAB pun diajukan setelah perusahaan menyampaikan laporan kuartal kedua yang paling lambat tanggal 31 Juli pada tahun berjalan.

Sementara Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan, dalam regulasi ini juga terdapat perubahan ketentuan terkait waktu revisi RKAB yang dapat dilakukan setelah penyampaian laporan kuartal I, di mana sebelumnya baru dapat dilakukan setelah penyampaian laporan keuangan kuartal II.

“Revisi RKAB bisa dilakukan di awal April dan tetap hanya boleh dilakukan sekali dalam setahun, dengan alasan yang tidak semata-mata karena berubahnya tingkat produksi,” kata Irwandy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/3).

Selain itu, tujuan diterbitkannya kebijakan ini diantaranya adalah dalam rangka penyederhanaan perizinan dan regulasi di sektor minerba.

Beberapa perizinan dihapus seperti persetujuan perubahan direksi/komisaris, dan pemberian persetujuan penambahan kerjasama angkut jual juga dihilangkan dengan diperkenalkannya Sistem Modul Verifikasi Penjualan (MVP).

Sedangkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, dengan kondisi objektif seperti sekarang ini, diperkirakan produksi hanya akan mencapai target dari pemerintah. Artinya produksi hanya 550 juta ton sesuai target tidak seperti tahun sebelumnya yang jauh melampaui target.

“Jadi untuk sementara kalau proyeksi, paling konservatif adalah realisasi produksi mungkin bisa sesuai target ditetapkan pemerintah mungkin tercapai, tidak seperti di 2018 dan 2019 di mana realisasi jauh melebihi target,” tuturnya.

Menurutnya, sangat sulit membuat prediksi tahun ini dengan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian. “Perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota saat ini masih beroperasi normal untuk memenuhi target RKAB,” ujarnya.

Sebelumnya, produksi batu bara sepanjang tahun lalu mencetak rekor tertinggi dengan realisasi mencapai 610 juta ton. Jumlah tersebut lebih tinggi 24,74% target produksi batu bara berdasarkan RKAB 2019 yang mencapai 489 juta ton.

Realisasi tahun lalu yang mencapai 610 juta ton  naik sejumlah 9,52%, dari realisasi produksi batu bara 2018 yang mencapai 557 juta ton.

Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, realisasi produksi batu bara yang mencapai 610 juta ton itu dikarenakan meningkatnya produksi  dari para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). (ant)