HRS

Kastara.ID, Jakarta – Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan, persidangan perkara yang menjerat mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizeq Shihab (HRS) seharusnya tidak lagi bisa digelar. Pasalnya hal itu melanggar Pasak 76 KUHP. Dakwaan atas pelanggaran kerumunan di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses kembali.

Saat memberikan keterangan (24/3), Mudzakir menjelaskan, dalam hukum dikenal prinsip ne bis in idem, yakni pembelaan hukum yang melarang seseorang diadili dua kali. Hal inilah yang menurut Mudzakir sedang terjadi terhadap HRS. Perbuatan pokok HRS sebenarnya sudah selesai setelah HRS menjalani peradilan denda.

Selain itu, menurut Mudzakir, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jaktim) tidak berwenang menggelar persidangan. Pasalnya lokasi kejadian berada di Petamburan, Jakarta Pusat, dan Megamendung, Bogor. Hal itu telah melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya.

Mudzakir menuturkan jika melihat locus deliciti, seharusnya perkara tersebut digelar di PN Jakarta Pusat dan PN Bogor. Artinya, menurut Mudzakir, persidangan terhadap HRS tidak sah karena tidak memiliki wewenang berdasarkan kompetensi relatif pengadilan itu.

Sebelumnya pendapat serupa juga dikemukakan anggota tim pengacara HRS, Munarman. Saat membacamma eksepsi atau nota pembelaan, Selasa (24/3), Munarman menyebut PN Jaktim tidak berwenang atas kasus di Megamendung.

Munarman juga menyatakan keberatan atas penggunaan Pasal 160 KUHP yang menurutnya tidak bisa diterapkan pada pelanggaran protokol kesehatan. Terlebih atas pelanggaran tersebut HRS sudah membayar denda sebesar Rp 50 juta. Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini menegaskan pelanggaran protokol kesehatan bukan kejahatan. (ant)