Hiu Paus

Kastara.ID, Jakarta – Conservation International (CI) menilai pariwisata hiu paus di Desa Labuhan Jambu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) berpotensi memberikan tambahan pemasukan untuk desa sekitar Rp 550 juta setiap tahunnya. Tidak hanya itu, didapatkan pula dana konservasi kurang lebih Rp 50 juta per tahun. Hasil ini berdasarkan kajian yang dilakukan pada periode September 2018 hingga Mei 2019.

Pada Sail Moyo Tambura di September 2018, Pemerintah Desa Labuhan Jambu meluncurkan pariwisata hiu paus berbasis masyarakat atau dapat dikatakan semua pengelolaan dan pendapatannya dimiliki penuh oleh warga desa. Desa Labuhan Jambu menjual pariwisata ini dengan dua paket yaitu wisata dari darat dan wisata dengan kapal rekreasi. 

Hiu Paus

Dalam penyediaan paket pariwisata, warga desa memanfaatkan aset yang dimiliki seperti kendaraan roda empat sebagai alat transportasi darat, kamar dalam rumah sebagai tempat menginap wisatawan, perahu motor untuk alat transportasi laut, dan perahu bagan sebagai media interaksi. Warga desa juga memasukkan biaya sebesar Rp 100.000 ke dalam paket sebagai dana konservasi. Dana tersebut akan digunakan nelayan untuk membetulkan jaring yang rusak akibat hiu paus yang terjerat.

Untuk mengetahui estimasi nilai ekonomi yang diperoleh dari pariwisata hiu CI melakukan kajian ini. Data yang dikaji berasal dari pengeluaran langsung oleh 90 wisatawan yang berkunjung pada periode tersebut, 50 orang penyedia jasa, dan catatan pembukuan dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Labuhan Jambu sebagai pengelola. 

Dari data tersebut Desa Labuhan Jambu diperkirakan mendapatkan Rp 600 juta tambahan pemasukan dan dana konservasi bila selama setahun berhasil menjual 72 paket. Untuk setiap paket yang dibeli warga penyedia jasa mendapat keuntungan sebesar Rp 90.000 hingga Rp 480.000 sesuai dengan jasa yang disediakan. 

Selain itu, pariwisata ini memberikan peluang bagi warga mengembangkan usaha skala kecil seperti makanan ringan, cendera mata, warung makan, penyewaan alat selam, dan membuka lapangan pekerjaan sebagai pemandu dan interpreter.

Peneliti dari CI Maulita Sari Hani mengatakan, potensi ekonomi ini bisa dicapai jika model pariwisata hiu paus berbasis masyarakat diterapkan secara benar. “Artinya tidak boleh ada korupsi, pembukuan dilakukan secara teratur, konsistensi sesuai peraturan desa, memperhatikan daya dukung pariwisata, serta perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi,” ujarnya.

Hiu Paus

Hal lain yang dapat mendukung kesuksesan pariwisata ini adalah pelibatan warga dalam perencanaan dan pengelolaan, peningkatan kapasitas untuk penyedia jasa, kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, agen perjalanan, organisasi kemasyarakatan, institusi pendidikan, serta asosiasi.

Warga Desa Labuhan Jambu telah mengetahui keberadaan hiu paus atau biasa dikenal dengan nama pakek torok sejak puluhan tahun yang lalu. Namun mereka baru menyadari bahwa hiu paus dapat menjadi tambahan pemasukan dari pengembangan pariwisata seperti di Maladewa yang memberikan nilai ekonomi tahunan sekitar Rp 130 miliar. Oleh karena itu, pemerintah setempat mulai dari tingkat desa sampai provinsi mendukung pangembangan pariwisata ini. Salah satunya adalah penerbitan Surat Keputusan Gubernur NTB Tahun 2019 mengenai Pembangunan Desa Wisata Prioritas Labuhan Jambu.

Temuan ini menjadi salah satu dari delapan topik yang dipaparkan oleh CI pada acara International Whale Shark Conference di Exmouth, Australia Barat yang dilaksanakan pada 28-31 Mei 2019. Konferensi ini bertujuan mengumpulkan semua pihak di seluruh dunia untuk berbagi informasi mengenai aspek ekologis dan biologis hiu paus serta mengaplikasikannya dalam upaya konservasi dan pembangunan wisata hiu paus yang berkelanjutan.

Konferensi ini dihadiri oleh 130 peserta dari 21 negara dan merupakan yang kelima kalinya setelah sebelumnya diadakan di Doha, Qatar tahun 2016. (dwi)