Nol

Oleh: Jaya Suprana

KALAU Anda mau, silakan Anda merenungi makna gambar 0% sebagai ilustrasi  naskah yang sedang baca ini secara lebih seksama.

Setelah menulis naskah Angkamologi 9 dan sebelum menulis naskah Angkamologi 10, saya merasa perlu singgah di sebuah “angka” paling kontroversial, yaitu 0 alias nol.

Masih sengit diperdebatkan apakah lantai dasar sebuah bangunan bertingkat merupakan lantai 1 atau lantai 0. Jarang ditemui ada kamar hotel bernomor 0. Tidak ada rumah bernomor RW 0/RT 0/ No 0.

Konon Babilonia yang menemukan “nol”, Yunani mencekalnya, Hinduisme memujanya sementara Nasrani memanfaatkannya sebagai stigmasi kaum kafir.

Secara faktual memang angka 0 beda dengan huruf 0 sebagai huruf ke 15 dalam urutan abjad bahasa Indonesia. Angka 0 bisa dianggap angka pertama sebelum angka 1, sekaligus juga angka terakhir setelah angka terbesar sebagai batas akhir infinitas, yang sayang sampai kini belum diketahui berapa besarannya, sebab setiap angka terbesar yang terbesar langsung gugur keterbesarannya apabila ditambah 1.

Para otorita matematika belum kunjung sepakat bahwa nol merupakan angka akibat ada yang meyakini bahwa 0 adalah simbol tentang sesuatu yang tidak ada. Bahkan ada yang meyakini angka 0 ada hanya sebagai pendamping angka beneran namun sang angka 0 sebenarnya tidak-ada alias nihil sesuai makna angka 0 itu sendiri.

Namun saya memaksakan diri untuk menganggap nol bukan simbol tetapi angka agar bisa saya tulis di serial angkamologi ini. Meski tidak tertutup kemungkinan bahwa saya akan menulis bahwa 0 bukan angka tapi simbol di serial buku simbolomologi (bukan Simbolonologi)yang sementara ini masih belum saya gagas. Memang ada kartu berangka 1 sampai dengan 9 namun tidak ada kartu berangka nol maka kerap kali kartu Joker dianggap sebagai nol meski ada pula pemain kartu yang menganggap nilai Joker di atas As.

Di arena sayembara  ada juara 1, 2 dan 3 dan juara hiburan namun tidak ada juara 0. Sementara para ahli hitung jaman Babilonia menulis angka 205 sebagai 2 spasi 5 di mana spasi = 0.  Masalah menjadi rumit untuk membedakan 27 dengan 270 sebab spasi di akhir deretan angka bisa terkesan tidak ada. Angka 0 seperti yang kita gunakan dalam naskah ini diduga pertama dipaksakan sejak abad ke 2 sebelum Masehi di India konon oleh seorang begawan matematika bernama Bhaksali.

Dalam bahasa Sansekerta, angka 0 disebut sunya yang kemudian disebut dalam bahasa Arab sifr  yang kemudian dalam bahasa Latin disebut zephirum yang kemudian di berbagai bahasa disebut  zipher, cipher, cifre, cifra dan zero dalam bahasa Inggris sampai masa kini.

Pada tahun 773 seorang cendekiawan India menyerahkan sebuah buku tulisan sang mahamatematikawan India, Brahmagupta yang perdana memperkenalkan angka 0 untuk disimpan di perpustakaan khalifah Khalif Al Mansur di Bagdad. Buku kuno tersebut sempat menarik perhatian sang mahamatematikawan Arab, Al Khwarzimi yang dari namanya berasal istilah algoritma.

Kemudian pada tahun 820 Al Khwarzimi menulis sebuah buku tentang angka-angka India yang kemudian digunakan untuk menyusun angka-angka Arab 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 seperti yang kini kita gunakan di abad XXI ini. Sejak itu lah angka 0 berperan mandiri untuk melukiskan kenihilan di samping sebagai angka tambahan bagi 9 angka tunggal lainnya demi menghadirkan angka 10 dan seterusnya sampai infinitas. Ternyata keberadaan bisa dibuktikan oleh ketidak-beradaan dengan logika bahwa jika ada yang ada maka hukumnya wajib ada yang tidak-ada.

Semula kaum matematikawan Romawi sulit menerima angka 0 ke dalam sistem angka Romawi, maka secara terpisah mereka mempelajari sistem angka Arab.

Bingungologi ditimbulkan  sebuah manuskrip berasal dari abad XII di Biara Salem yang menulis paradoksa bahwa Platon bersabda “Setiap angka bangkit dari angka satu sementara angka satu didahului angka nol” sementara Platon memang mulai menghitung dengan angka satu akibat pada masa hidupnya belum mengenal angka 0.

Saya pribadi bisa menerima bahwa 1+0=1 atau 1-1=0 namun mulai sulit menerima bahwa 1X0=0 sementara 0X0=0 maka apa bedanya 1×0 dengan 0x0 yang seharusnya berbeda mengingat 1X2 beda dengan 2X2. Berarti 0 memang bukan angka?

Akal tidak-sehat saya sulit menerima kesepakatan para matematikawan bahwa 0 dilarang digunakan untuk membagi angka lain. Mungkin sengaja demi melanggar hak asasi saya untuk meragukan sekaligus membuktikan bahwa matematika mirip agama maka wajib dilindungi dogma.

Sementara fakta bahwa sebuah angka ditambah maupun dikurangi nol tetap tidak mengalami perubahan mirip keberatan satu dianggap sebagai angka sebab satu tidak merubah angka lain apabila dikalikan dengan satu.

Menurut pengajar matematik, Karl Menninger secara andaikatamologis (atau jikamologis atau apabilamologis?)  0 pangkat 0 juga membingungkan, sebab jika a pangkat 0 = 1 selama a bukan 0 maka seharusnya secara berkelanjutan tetap 1 jika a=0, padahal 0 pangkat a senantiasa sama dengan 0 selama a bukan nol, maka berdasar argumentasi yang sama seharusnya 0 pangkat 0 adalah 0. Bagi yang mau protes silakan jangan ke saya, tetapi langsung saja ke Karl Meinninger, yang sayang sudah meninggalkan dunia fana ini pada 2 Oktober 1963. Pantas saja Prof.Charles Seife pada bukunya berjudul ZERO membubuhi sub-juldul The Biography of a Dangerous Idea. 

Maka terhadap angka 0 yang telah disepakati (sebagian) mahamatematikawan sebagai angka, ketimbang terjerat perangkap pemikiran terjebak pemikiran, lebih baik saya memilih sikap pasrah untuk percaya saja kepada apa pun yang disepakati para mahamatematikawan. Minimal secara kelirumologis potensial berguna sebagai hiburan jika ternyata keliru, saya punya banyak teman senasib dalam keliru. Horeeeee ….. (*)