BPJS Kesehatan

Kastara.ID, Jakarta – Urun biaya dalam aturan undang-undang tentang BPJS Kesehatan memang ada (diatur). Buat YLKI, ketika tidak melanggar aturan tak masalah diterapkan. Cuma yang jadi permasalahannya, urun biaya ini tak bisa jadi penyelesaian masalah defisit BPJS. Demikian diutarakan oleh Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi di Jakarta (26/1)

Menurut Sularsi, defisit bisa ditangani dengan tiga cara. Pertama, menambah iuran peserta. “Kedua, mengurangi manfaat. Tapi opsi ini tidak mungkin dilakukan, karena nantinya layanannya tidak sesuai standar. Malah bisa jadi bom waktu. Akibatnya fatal dan biaya jadi lebih mahal lagi,” ujarnya. Ketiga, Pemerintah menambal defisit dengan subsidi.

Soal sharing cost atau urun biaya, lanjut Sularsi, akan jadi permasalahan karena belum ada regulasinya. Informasi dari penyelenggara kesehatan atau petugas medis, masyarakat ingin menambah layanannya.

Namun, menurutnya yang lebih penting BPJS Kesehatan harus menyampaikan informasi lebih jelas (soal urun biaya). Regulasi ini berakibat pada penerima layanan kesehatan, yakni pasien yang berhadapan langsung dengan pihak penyelenggara kesehatan, yaitu pihak rumah sakit atau klinik. Jangan sampai terjadi dispute (pertentangan) di antara kedua pihak tersebut.

“Sejak awal harus jelas aturannya. Itu jadi tanggung jawab BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Mereka wajib menyampaikan informasi dan mengedukasi masyarakat,” imbuhnya.

Yang jadi pertanyaan YLKI, pertimbangan apa yang membuat Pemerintah memilih opsi urun biaya. Karena ini berpotensi menimbulkan dispute di masyarakat. Misalnya, dispute berapa kali mereka melakukan kunjungan (berobat).

“Ini memang dilematis. Tarif iuran untuk kelas 3 sekitar Rp 25 ribu menurut kami irasional juga dengan kondisi inflasi dan biaya (yang serba naik) sekarang. Artinya, pemerintah harus menyampaikan hal itu juga pada masyarakat,” paparnya.

Pada dasarnya kami bersikap begini, untuk urun biaya sisi pengawasannya harus ditingkatkan. Jangan sampai ada dispute. “Apa yang di-cover (dan yang tidak) oleh BPJS Kesehatan harus diinformasikan pada masyarakat,” jelasnya.

Kemudian, yang lebih penting, bagaimana melakukan tindakan preventif. Yang menggerus keuangan BPJS karena harus menangani penyakit-penyakit kronis pesertanya. “Seharusnya ada insentif yang diberikan kepada dokter atau puskesmas yang sedikit warganya berobat karena sakit. Itu indikasi tindakan preventif berhasil. Itu harus dapat insentif. Biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan jadi lebih kecil,” pungkasnya. (rya)