Oleh: M. Nigara

MESKI tercatat ada lebih dari 1200 kasus kecurangan dalam pilpres 2019 telah dilaporkan BPN ke Bawaslu, baik KPU maupun Bawaslu sendiri, tampaknya diam saja. Bahkan ada kesan bahwa mereka justru tidak mengakui adanya kecurangan itu.

Alih-alih memperbaiki diri, KPU justru terus-menerus melakukan pembelaan diri. Mengecilkan perkara-perkara besar dan menghapus perkara-perkara kecil. Padahal, di medsos, kita bisa melihat kecurangan demi kecurangan yang diposting rakyat via medsos, setiap saat.

Jika hingga waktunya KPU dan Bawaslu tetap tidak merespons fakta-fakta di lapangan, saya punya ide seperti yang dilakukan oleh Gus Nur, sumpah dahsyat, Mubahalah. Kebetulan mayoritas komisioner KPU dan Bawaslu adalah muslim. Dalam ajaran Islam, jika dua belah pihak merasa benar, hendaknya ditempuhlah jalan Mubahalah.

Mubahalah (malediction, imprecation) berasal dari kata bahlah atau buhlah yang artinya kutukan atau melaknat.

Menurut istilah, mubahalah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah SWT supaya Allah SWT melaknat dan membinasakan atau mengadzab pihak yang batil (salah) atau menyalahi pihak kebenaran.

Peristiwa mubahalah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap pendeta Kristen dari Najran pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imron (3: 61).

“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Mubahalah atau bersumpah untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah (Pos Muslim).

Mubahalah memang hukumnya mubah, tapi Rasulallah sendiri pernah melakukan itu. Artinya, kita pun boleh melakukan itu. Mubahalah saat ini sangat tepat untuk dilakukan.

KPU dan Bawaslu merasa tidak ada kecurangan, sementara mayoritas rakyat Indonesia percaya ada kecurangan. Kedua belah pihak merasa berada dalam posisi yang benar. Untuk itu, mubahalah adalah jalan terbaik.

Jika KPU dan Bawaslu yang benar, maka laknat Allah akan jatuh ke rakyat Indonesia. Tapi, jika ternyata rakyat yang benar, maka KPU dan Bawaslu, serta seluruh yang mendukungnya, siapa pun dia, apa pun jabatannya, dialah yang terkena laknat Allah.

Dalam kisah-kisah terdahulu, orang-orang yang ternyata bersalah mengalami nasib yang buruk hingga tewas. Kematiannya pun penuh dengan derita.

Salah satu contoh mubahalah juga terbukti ketika Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku nabi, berdebat dengan Syekh Tsanaullah al-Amrtasari. Keduanya saling bermubahalah. Atas seizin Allah SWT, Mirza sang pendiri Ahmadiyah itu meninggal dunia setahun usai peristiwa mubahalah.

Nah, bagaimana KPU dan Bawaslu? Apakah ide saya ini bisa diterima? Secara logika, harusnya, jika mereka merasa benar, pilpres berjalan jujur dan adil, bersih dari kecurangan, maka ide saya adalah jalan keluar terbaik. Sebaliknya, jika ide saya ditolak, maka patut dapat diduga, kecurangan itu benar adanya.
Wallahu a’lam bishawab….. (“)

*Wartawan Senior