Mutasi Pejabat

Kastara.id, Jakarta – Jika tak ada aral melintang pada bulan September 2018, pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018 bakal dilakukan. Pelantikan rencananya akan dilakukan di Istana Negara.

Pasca pelantikan, biasanya yang terjadi pada kepala daerah berlomba-lomba melakukan mutasi pejabat di lingkungan pemerintahan daerah. Terkait ini, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menegaskan, kepala daerah yang baru terpilih tak bisa seenaknya melakukan mutasi pejabat. Ada aturannya yang mesti ditaati.

“Ya memang pada umumnya kepala daerah terpilih setelah dilantik akan melakukan mutasi, rotasi, bahkan ada tindakan menonjobkan Aparatur Sipil Negara eselon II, III, dan IV, yang acap kali faktornya yang subjektif,” kata Bahtiar di Jakarta, Kamis (26/7).

Menurut Bahtiar, ada aturan yang harus ditaati oleh kepala daerah terpilih yang baru dilantik saat melakukan mutasi pejabat. Aturan yang dimaksud adalah Pasal 162 ayat 3 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

“Dalam Pasal 162 ayat 3 UU Pilkada dinyatakan, gubernur, bupati, atau walikota yang akanĀ  melakukan pergantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten atau kota dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapat persetujuan tertulis Mendagri,” katanya.

Jadi kalau melihat bunyi ketentuan di pasal tersebut, kepala daerah yang baru terpilih bisa melakukan mutasi asal seizin Mendagri. Ketentuan itu untuk menghindari kesewenangan pemimpin yang baru dilantik. Dengan begitu, potensi konflik kepentingan dalam mutasi tersebut dapat dihindari. Mutasi pun dasarnya lebih pada pertimbangan objektif menyangkut kinerja. Bukan karena like and dislike karena ekses dukung mendukung di Pilkada.

“Mutasi dalam 6 bulan setelah pelantikan harus ijin menteri. Dan dalam UU ASN Pasal 73 ayat 7 juga ditegaskan mutasi dilakukam dengan memperhatikan larangan konflik kepentingan,” katanya. (dwi)