Oleh: Muhammad AS Hikam

Ketua MPR Zuilkifli Hasan bereaksi miring perihal keputusan Polri menjadikan Buni Yani sebagai tersangka terkait kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA. Menurut laporan media, Zuilkifli Hasan menengarai keputusan tersebut ‘akan memicu kemarahan masyarakat dan gelombang aksi yang lebih besar,’ dan karenanya ‘Polisi diminta tidak memanas-manasi.’ Ketua Umum PAN ini yakin bahwa status tersangka Buni Yani akan membuat kondisi semakin tidak kondusif, dan akan memperbesar masalah.

Bagi saya, statemen Zuilkifli Hasan malah menunjukkan bahwa dirinya, yang notabene adalah pimpinan lembaga tinggi negara, seperti tidak paham dengan masalah hukum dan terkesan tidak mendukung upaya penegakan hukum yang sedang dilakukan Polri. Jika Zuilkifli Hasan memang paham dengan sistem hukum Indonesia, semestinya ia mengapresiasi Polri yang sedang menjalankan aturan hukum yang berlaku melalui proses hukum yang dijalankan secara konsisten dan impartial. Dengan mengatakan bahwa keputusan Polri itu sebagai tindakan yang bisa dianggap “memanas-manasi”, orang bisa bertanya: Bukankah justru Zuilkifli Hasan sendiri yang bisa dituding seperti itu, karena ia secara apriori telah menjatuhkan judgement tindakan Polri yang sudah sesuai dengan aturan main?.

Zuilkifli Hasan, bisa jadi, merupakan salah satu dari beberapa politisi Senayan yang memang kurang sreg dengan langkah-langkah Polri akhir-akhir ini, baik dalam mengantisipasi kemungkinan melebarnya aksi-aksi yang muncul setelah adanya dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan juga kasus Buni Yani itu. Hal ini sebenarnya menimbulkan tanda tanya karena Zuilkifli Hasan adalah pimpinan salah satu parpol (PAN) yang kini telah resmi menjadi bagian dari koalisi pendukung Pemerintah Presiden Jokowi. Padahal kasus Ahok dan Buni Yani tersebut memiliki kaitan-kaitan dengan stabilitas politik Pemerintah Presiden Jokowi. Logikanya, dalamm posisinya baik sebagai Ketum PAN maupun Ketua MPR, Zuilkifli Hasan seharusnya bersikap mendukung semua langkah penanganan hukum oleh Polri yang bukan saja telah sesuai aturan yang berlaku, tetapi muaranya juga membantu menjaga stabilitas politik yang sedang terganggu.

Perilaku pimpinan parpol anggota koalisi pendukung Pemerintah yang “rasa oposisi” ini mengingatkan kita pada kasus Setgab bentukan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, dahulu yang tidak solid gegara beberapa parpol di dalamnya yang malah berperilaku tidak loyal. Presiden Jokowi, yang sejak awal berniat membangun sebuah koalisi yang solid, tampaknya kini juga sedang mengalami ujian ketika pimpinan parpol yang tergabung dalam KIH juga mulai menampilkan sikap yang tidak normal tersebut. Sebagai pribadi Zuilkifli Hasan barangkali memiliki pandangan yang simpatik dengan para pendukung kelompok anti-Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. Dan itu sah-sah saja. Namun sebagai pimpinan parpol yang mendukung Presiden Jokowi, dia tidak bisa sembarangan mengeluarkan pandangan yang bisa berimplikasi melemahkan posisi Presiden. Sebab kasus Ahok dan rentetannya itu ditengarai telah melebar menjadi ancaman bagi stabilitas Pemerintahan Presiden Jokowi. Sikap Zuilkifli Hasan terhadap Polri dan keputusannya bisa dibaca dari perspektif politik sebagai “ketidakloyalan” Zuilkifli Hasan dan partainya dalam konteks koalisi pendukung Presiden Jokowi.

Dan sikap Zuilkifli Hasan juga semakin kelihatan kontradiktif ketika ia juga berharap agar semua pejabat pemerintah meniru Presiden Jokowi, yakni menyejukkan bukan justru membuat suasana panas. Bukankah dengan kenyinyiran dan kecurigaan terhadap tindakan Kapolri dalam kasus Buni Yani ini, sesungguhnya Zuilkifli Hasan sendiri yang tidak menyejukkan suasana politik yang memanas ini? Sebab apa yang dilakukan Kapolri jelas ada landasan hukumnya dan juga mengikuti prinsip “due process of law” yang ada dalam sistem hukum Indonesia. (*)