Pilpres 2019
Oleh: Erros Djarot

Keyakinan bahwa pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin akan memenangkan Pilpres 2019, sudah semakin diyakini oleh para relawan pendukung Capres-Cawapres nomer urut 1 (satu) ini. Konon berdasarkan hitungan pasar politik pilpres versi mereka, hanya 10 sampai 15 persen provinsi di Indonesia yang bukan merupakan lahan suara bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf. Selebihnya, walau ada yang menang tipis, Jokowi dua periode bisa mereka wujudkan.

Perhitungan yang optimistis ini cukup beralasan dan bukan hal yang mengada-ada. Karena beberapa lembaga survei menampilkan hasil yang kurang lebih mengunggulkan pasangan Jokowi-Ma’ruf. Bahkan ada sebuah lembaga survei yang cukup terpandang yang menampilkan keunggulan telak pasangan Jokowi-Ma’ruf. Secara pribadi, walau tak seekstrim hasil jajak pendapat ala Bung Denny JA misalnya, bila pemungutan suara dilakukan pada akhir tahun ini, kemenangan Jokowi-Ma’ruf hampir dipastikan menjadi sebuah keniscayaan.

Permasalahannya, mampukah posisi ini dalam empat bulan ke depan tetap bertahan? Jawabannya tentu sangat tergantung dari kinerja barisan pendukung kandidat Capres nomor urut satu ini. Di samping performa Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan akan juga merupakan faktor yang sangat menentukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sementara faktor eksternal akan ditentukan oleh sejauh mana para pendukung berikut para strategi di kubu Prabowo-Sandi mampu meningkatkan performanya; tampil sebagai oposisi yang meyakinkan dalam segi kualitas maupun kuantitas.

Bila kedua kubu pendukung berjalan sebatas hanya seperti sekarang ini, saling serang, saling memojokkan, dan saling menakut-nakuti berikut iming-iming yang kental akan aroma kekanak-kanakan, kemenangan Jokowi-Ma’ruf hampir bisa dipastikan akan terjadi. Namun bila kubu Prabowo-Sandi mampu tampil cantik dengan bekal strategi dan penampilan baru, suatu perubahan bisa saja terjadi. Salah satu keunggulan yang kian hari kian nyata adalah kadar kemilitanan dari para pendukung Prabowo-Sandi yang terasakan lebih nyata dan lebih tinggi bila dibandingkan para pendukung di jajaran petahana.

Kian nyata meningkatnya kadar kemilitanan di dalam tubuh barisan oposisi ini merupakan hal yang wajar. Karena semangat kelompok manusia yang berada di barisan oposisi yang selalu siap menyerang dan dipompa oleh semangat untuk menjatuhkan lawan, begitu kuatnya terkonsolidasi. Semangat inilah yang membuat barisan ini dibanjiri oleh relawan murni yang kehadirannya lebih didorong oleh harapan dalam keterbatasan yang memicu adrenalin mereka meninggi. Mereka ini relawan murni yang rela berkorban materi bahkan lebih dari itu untuk berjuang merobohkan lawan yang tercitrakan begitu kuat. Sehingga kekompakan dan kebersamaan mereka dalam gerak semakin terkonsolidasi oleh waktu sampai ke hari H.

Sementara di barisan pendukung petahana, seperti lazim terjadi, semangat yang terbatas terbina oleh waktu dan kedekatan dengan kekuasaan sehingga hadir sebatas tuntutan normatif mereka. Sulit untuk dikatakan bahwa mereka ini masih bergelora dan kompak bergandengan tangan dalam kerja bahu membahu sebagaimana terjadi di tahun 2014. Detak argometer dalam setiap langkah ‘perjuangan’ dan perhitungan ekonomis yang sudah terlembaga dalam melaksanakan kerja selama ini, akan membuat pendukung walau ada dalam satu barisan, namun pada hakekatnya merupakan kelompok-kelompok yang tidak dalam satu tekad dan semangat.

Pengalaman empirik selama ini mengantar sebuah bacaan, di mana para ‘relawan’ yang berjuang bersama Jokowi pada Pilpres 2014, telah saling tumbuh sebagai penikmat kue kekuasaan bagi sebagian dari mereka; dan sebagian lagi terdepak dan sakit hati. Suasana pun melahirkan terminologi ‘relawan yang tak rela’ bila jasa perjuangannya tidak dihitung sebagai andil membangun kekuasaan. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi setiap relawan. Karena banyak sekali, terutama mereka para pendukung di luar organisasi resmi relawan Jokowi 2014, yang benar-benar tulus dan hingga sekarang bertahan sebagai relawan murni, berjuang tanpa pamrih.

Kalau ada yang berkeyakinan bahwa dengan banyaknya partai yang mendukung maka akan semakin deras laju dukungan datang dari masa rakyat, dikhawatirkan pandangan ini akan membentur tembok kenyataan. Karena biasanya, dalam praktik politik lapangan, pengorganisasian semakin kompkleks dan penuh perbedaan kepentingan. Ditambah lagi konsentrasi pada pemilihan legislatif (Pileg) kian hari semakin menempati prioritas tertinggi dalam kinerja partai dalam Pemilu 2019 kali ini.

Semoga saja pemerintahan Jokowi tidak lagi memproduksi kebijakan yang ‘blunder’ dan menjadi sasaran empuk untuk diserang kelompok oposisi. Sebagaimana terjadi pada ‘skandal’ kenaikan harga BBM yang kemudian dibatalkan; seperti juga pada Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 tentang dibolehkannya 100 persen investasi asing di sektor UMKM yang digelontorkan dan kemudian ditunda, bila banyak hal serupa diproduksi, dikhawatirkan hal yang tidak diharapkan bisa terjadi.

Dengan kata lain, yah… sampai akhir tahun ini, Jokowi-Ma’ruf bisa diyakini yang tampil sebagai pemenangnya. Bagaimana 4 bulan dari sekarang? Sangat tergantung pada hal-hal sebagaimana uraian di atas. Plus, sangat ditentukan oleh orang-orang yang berada di sirkel Satu-nya para Capres 01 dan 02! (*)

*Budayawan