Fiqih

Oleh: Mohammad Sabri

INILAH Indonesia: sebuah negara-bangsa, yang masih belia dan belum matang secara kultural. Sebagai bangsa usianya kurang dari satu abad, sebagai negara baru 75 tahun. Dia juga sebuah negara maritim: ditaburi tak kurang dari 13.466 pulau, dengan bentangan garis pantai terpanjang di seantero bumi, negeri eksotik di cincin khatulistiwa, subkultur dan etnisitas yang aneka, adat-istiadat yang berwarna, agama yang jamak, dan kesenjangan sosial ekonomi yang masih memantik kerentanan demi kerentanan.

Dengan kepelbagaian yang demikian kental, jelas tidak mudah mengurus keberadaan negara-bangsa ini. Tanpa adanya stamina moral-spiritual yang luar biasa dan kesadaran gotong-royong (yang mengandaikan “kebersamaan” [together] dan “kebersesamaan” [equality]) diantara penghuninya, rasanya keindonesiaan kita masih membutuhkan perawatan khusus, di bawah kepemimpinan yang berwawasan jauh ke depan, demi masa datang yang berdaulat penuh, lebih adil, dan bermartabat.

Untuk takaran usia negara, 75 tahun itu masih seumur jagung. Usia negeri kita kurang lebih sama dengan empat negara yang jauh lebih maju daripada kita: Tiongkok, India, Malaysia, dan Singapura. Kita mungkin masih bisa berdalih: GDP Tiongkok dan India jauh lebih besar dibandingkan dengan kita, sehingga mereka lebih maju. Kita juga mungkin bisa mendabik dada bahwa sistem dan kehidupan politik-demokrasi Malaysia dan Singapura jauh di bawah kita. Dalam  usia 75 tahun kita mungkin lebih maju daripada Amerika Serikat yang hingga kini belum bisa melahirkan presiden perempuan. Kepelbagaian kita pun lebih stabil ketimbang negeri bineka yang tercabik seperti eks Uni Soviet dan Yugoslavia.

Namun kebanggaan suatu bangsa tidak semata diukur dengan capaian-capaian ril melalui deretan angka statistik semata, tapi lebih dari itu bisa dijawab dari pertanyaan fundamental: makin dewasakah kita seiring bertambahnya usia (the older, the wiser)?

Mungkin jawabnya terhimpun sebagiannya dalam napas nubuat para pendiri bangsa: sudahkah kita memapankan sikap batin bahwa Pancasila adalah dasar filosfi negara, ideologi, dan falsafah hidup bangsa kita yang ideal dan final, menolak berpisah dari NKRI, menghormati kepelbagaian, serta meletakkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagai satu-satunya tujuan UUD NRI 1945? Masihkah kita menghargai kebinekaan? Rasanya serangkaian peristiwa yang menciptakan kegaduhan bangsa ini masih terpahat dalam ingatan: pawai keberagamaan diserang “geng” radikal-ekslusif di Tugu Monas, persis pada peringatan Hari Jadi Pancasila 1 Juni 2008.

Penghargaan kita terhadap kebinekaan terasa kian meleleh, menyusul fenomena pelarangan membangun rumah ibadah, atau terganggunya pelaksanaan beribadah secara nyaman antara lain yang dialami Gereja Yasmin di Bogor, kebaktian di Yogyakarta atau peristiwa paling anyar, tak tunainya Idul Fitri di Tolikara. Ancaman dan penyerangan terhadap Ahmadiyah dan Syiah yang terbangun di atas prasangka teologis akut, belum lenyap hingga ke akarnya.

Kebinekaan Indonesia sebagai sebuah realitas sangat memerlukan perubahan paradigma mendasar, dari sikap “monopoli kebenaran” kepada sikap “berbagi”. “Di titik ini, ‘kita’ dan ‘mereka’ harus dilihat dalam perspektif kemanusiaan yang bulat dan utuh,”  demikian pendakuan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Ahmad Syafii Maarif, “Bukan kemanusiaan yang lonjong dan terbelah”. Pilar kemanusia akan bisa tegak-kuat jika prinsip “keadilan untuk semua” tidak dipermainkan dengan aneka alasan dan dalih.

Senapas dengan ide tersebut, “Fikih” Kebinekaan pun mengemuka. Dalam tradisi Islam, al-Fiqh memiliki dua paras. Pertama, dalam arti “sempit” (al-fiqh al-Ashgar), fikih disepadankan dengan himpunan “hukum-hukum agama” yang dipedomani umat Islam baik dalam kehidupan transendental (ibadah) maupun sosial (muamalah). Kedua, makna “luas,” (al-Fiqh al-Akbar), fikih diandaikan sebagai “pemikiran keagamaan” yang lahir dari proses dialektika doktrin Islam dan realitas historis. Dari sumbu gagas terakhirlah, “Fikih” Kebinekaan itu mekar.

“Fikih” Kebinekaan, sebab itu, lebih merupakan pemikiran keagamaan yang tidak saja mengandaikan perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, tapi juga menghadirkan realitas kepelbagaian yang tidak saling mengancam. Itu sebab, ketika lanskap kehidupan beragama masyarakat Indonesia belakangan ini diwarnai amarah, aroma kebencian, intoleransi, dan sektarianisme yang banal, kecenderungan terhadap perbedaan dan keanekaan lalu identik dengan penafian tentang yang liyan.

Gejala menguatnya “tafsir atas agama” adalah “agama itu sendiri” atau “Tuhan identik dengan agama”, adalah poros yang kian memapankan intoleransi dan sektarianisme. Pada hal inti pesan agama yang autentik, senapas dan seiring  dengan ide kemanuasian: bahwa manusia sebagai makhluk mulia, mesti dijaga martabat dan kehormatannya dan bukannya dihancurkan atas nama agama.

Menarik merenungkan ungkapan Talbi, pemuka pemikir Islam asal Tunisia: “diversity is the law of our time”—bahwa kini keanekaan adalah “hukum zaman” kita. Sebab itu, baik dalam ranah personal-individual maupun komunal-sosial, “Fikih” Kebinekaan tidak boleh berhenti sekadar sebagai wacana atau pun ide, tapi musti diaktualkan dalam sejarah. Mungkin itu pula sebabnya pesan kearifan mpu Tantular, Bhinneka Tungga Ika patut dihadirkan kembali dalam sebuah eksposisi dan pemaknaan baru: “Betapa indahnya persatuan, justeru karena kita telah ditakdirkan berbeda.” (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).