Pancasila

Oleh: Thobib Al-Asyhar

PANDEMI Covid-19 tidak membuat bangsa ini berhenti berdebat. Mulai soal penanganan virus, nilai tukar rupiah, pemakzulan, RUU HIP, dan kini usulan peleburan pendidikan agama di sekolah ke dalam kurikulum Pancasila. Munculnya isu terakhir konon dilandasi oleh argumen yang dibangun untuk menguatkan pendidikan karakter anak didik dalam jenjang sekolah. Hal tersebut dilakukan karena kurikulum agama dinilai memiliki rumpun yang sama dengan kurikulum Pancasila, yaitu pendidikan karakter.

Semangat itu dilatarbelakangi atas fenomena menurunnya spirit toleransi atas berbagai perbedaan, kurangnya kebersamaan, gotong royong, kerja sama, dan lain-lain dalam wadah NKRI. Hal itu paling mudah terlihat antara lain dari banyaknya hate speech di media sosial, menjamurnya hoaks di dunia maya, adanya keinginan kelompok agama yang sering memaksakan kehendak, banyaknya anak-anak muda yang hidup hedonistik, bahkan semakin menjamurnya anasir-anasir radikalisme di kalangan anak-anak muda, dan seterusnya.

Upaya penguatan pendidikan karakter tentu tidak salah. Hanya saja, momen pandemi seperti ini membuat ruang keprihatinan dan kontroversi, di tengah publik dalam tekanan ekonomi. Apalagi setelah sebelumnya muncul kontroversi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dituduh kental dengan spirit “komunistik”. Entahlah. Jadi lengkap sudah perdebatan menjadi panas. Yang pertama ada anggapan upaya “penghilangan” pendidikan agama di sekolah. Yang kedua muncul tuduhan adanya penyusupan gerakan komunisme di balik RUU HIP ini.

Kedua isu sensitif tersebut menyangkut aspek agama dan Pancasila yang menyeret publik berdebat soal hubungan negara dan agama. Tema yang tidak pernah lapuk sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Jika mencermati sikap para “founding father” bangsa ini sejatinya sudah tegas, tidak ada yang bertentangan antara nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai agama. Apapun agamanya. Keduanya saling mengisi dan menguatkan.

Seorang Pancasilais seharusnya menjadi penganut agama yang taat. Kenapa? Karena nilai-nilai ketuhanan dan kemasyarakatan terkandung dalam Pancasila. Sebaliknya, seorang penganut agama yang taat, seharusnya menjadi seorang Pancasilais. Karena agama jelas mengajarkan nila-nilai universalisme, seperti keadilan, persaudaraan, persamaan, dan lain-lain. Jika ada gap, artinya pemahaman terhadap salah satu atau keduanya perlu direview ulang. Karena memang Pancasila justru digali dari nilai-nilai umum agama-agama dan wisdom masyarakat.

Munculnya keinginan perbaikan pendidikan karakter anak seharusnya bukan karena dorongan sekularisasi terhadap sistem kebangsaan kita. Para pengusung penggabungan kurikulum pasti mengaku tidak ingin menghilangkan substansi agama dalam dunia pendidikan. Hal ini karena memang semua telah sepakat bahwa nilai-nilai agama sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Hanya saja paradigmanya harus dilihat secara kritis.

Memang betul ada tantangan nyata bahwa kita saat ini sedang menghadapi disrupsi luar biasa di era industri 4.0 dan menyongsong era industri baru 5.0. Sebuah era yang mengalami perubahan dahsyat dalam segala lini kehidupan, sehingga perlu diimbangi langkah-langkah konkrit untuk penataan birokrasi, regulasi, juga kurikulum pendidikan yang lebih simpel dan kuat sehingga akan melahirkan SDM yang kompetitif.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah penggabungan kurikulum agama ke rumpun kurikulum Pancasila menjadi solusi efektif? Jika solusinya itu, muncul pertanyaan berikutnya, apakah selama ini mata pelajaran agama telah diajarkan kepada anak didik dengan tepat? Sudahkah mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum telah menjadi basis pendidikan karakter? Demikian juga kurikulum Pancasila?

Jika keduanya belum “diajarkan dan dididikkan” kepada anak-anak untuk membentuk karakter, kenapa pendidikan agama-nya yang justru ingin digabung dalam rumpun Pancasila? Jika sama-sama bertujuan untuk membentuk karakter anak, mari kita lihat masing-masing sudut pandang secara kritis agar kita tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu.

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini perlu dijawab: benarkah pendidikan agama di sekolah negeri dan umum (non agama) cenderung diterima secara kongnitif oleh anak didik? Menjawab pertanyaan ini memang tidak bisa hitam putih. Namun indikator umum mungkin bisa menjawab. Jika jam mata pelajaran Agama hanya dua jam dalam seminggu, maka hampir bisa dipastikan kurikulum agama sangat tidak efektif dalam pembentukan karakter siswa. Kenapa?

Pembentukan karakter harus didukung oleh banyak faktor. Selain input pengetahuan (insight), juga perlu ada keteladanan dan pembiasaan penerapan nilai-nilai agama dalam lingkungan, baik di sekolah, masyarakat, maupun dalam keluarga itu sendiri. Khusus di sekolah, manajemen sekolah punya kewajiban untuk menciptakan suasana agar nilai-nilai agama dapat diinternalisasi oleh seluruh civitas sekolah. Apapun agamanya.

Selama ini, pendidikan agama hanya “diajarkan” dengan dua jam per minggu yang menjadi kurikulum sekolah. Jika diukur dari efektivitas waktu akan sangat kurang. Apalagi di tengah kekurangan metode dan ketidakcukupan rasio jumlah guru dan murid. Untuk sekolah-sekolah negeri, jumlah murid atau siswa sekitar 40-50 orang per kelas. Bisa dibayangkan kalau satu kelas satu guru. Pelajaran agama hanya dua jam perminggu di tengah padatnya kurikulum yang lain. Lalu apa dampak dari pelajaran ini?

Sebab itu, kurikulum agama sangat perlu disesuaikan agar nilai-nilai agama bisa menjadi guidance bagi pendidikan karakter. Apalagi pendidikan agama memiliki pokok-pokok ajaran yang spesifik, seperti muatan akidah, ibadah, dan muamalah. Apakah harus nambah jam pelajaran seminggu? Tidak harus begitu. Hal yang lebih penting adalah bagaimana manajemen sekolah dapat memastikan seluruh warga sekolah memahami dan membudayakan nilai-nilai agama itu terlaksana dalam kehidupan sehari-hari. Guru harus benar-benar menjadi contoh bagi murid secara etik, selain tentu saja kemampuan akademik dan metode keilmuan yang diampu dengan baik.

Bagaimana dengan pendidikan Pancasila? Jika pendidikan Pancasila yang tujuannya membangun karakter anak, dan semata-mata disampaikan dalam wujud pengajaran, maka tujuan besar dari mata pelajaran ini tetap tidak maksimal. Transfer of knowledge mata pelajaran Pancasila hanya dihafal, tanpa ada best practice dalam kehidupan sekolah. Harus ada media lain bagaimana nilai-nilai Pancasila itu senafas dan bisa dipraktikkan bersamaan dengan nilai-nilai agama.

Penulis teringat masa kecil bagaimana pesan-pesan Pancasila menancap dalam benak hingga saat ini. Pada tahun awal 80-an, setiap hari Minggu pagi jam 07.00, melalui saluran RRI, masyarakat diperdengarkan siaran langsung melalui acara Forum Negara Pancasila (FNP) yang diasuh oleh Tedjo Sumarto. Siaran itu wajib direlay oleh saluran radio swasta seluruh Indonesia, sehingga mau tidak mau, masyarakat “menerima” Pancasila dengan terpaksa dari negara. Efektifkah cara itu dalam pembentukan jiwa publik?

Jika ukurannya tingkat pamahaman dan kemampuan artikulasi kebangsaan terhadap Pancasila, bisa dibilang itu betul. Saat sesuatu diulang-ulang dan diinsert secara doktriner akan selalu diingat oleh memori masyarakat. Apalagi secara periodik di sekolah ada mata pelajaran PMP, cerdas cermat P4, dan berdirinya BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Kelemahan terbesar dari pola lama (Orde Baru) tersebut mengakibatkan terjadinya penguasaan tafsir tunggal Pancasila yang bertentangan dengan pelaksanaan prinsip demokrasi.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa pendidikan karakter melalui kurikulum agama dan Pancasila tidak bisa disimpelkan sebatas penyatuan rumpun. Apalagi konsepnya masih pengajaran (alih pengetahuan). Diperlukan media dan upaya lain agar nilai-nilai agama dan Pancasila bisa saling mendukung sebagai pembentuk budi pekerti anak didik. Bagaimana dengan kepentingan penyederhanaan kurikulum agar produk pendidikan kita kompetitif?

Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan kajian mendalam dan komprehensif. Konon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menggodoknya. Memang ada dua kepentingan, antara efektifitas pembentukan karakter dengan upaya mengejar kualitas produk pendidikan kita. Keduanya tidak boleh saling menghapus atau meniadakan. Dua-duanya sangat penting. Sehingga produk pendidikan kita akan mengantarkan SDM yang memiliki karakter mulia dengan penguasaan ilmu yang jitu. Atau sebaliknya, menguasai keilmuan dengan karakter yang unggul. Wallahu a’lam. (*)

* Dosen Psikologi Islam Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia, pengurus BP4 Pusat.