Kastara.ID, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Firman Soebagyo menyatakan dukungannya rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memindahkan ibukota administartif dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

“Selain untuk pemerataan ekonomi, juga Jakarta memang tak lagi bisa dipertahankan sebagai ibu kota pemerintahan. Sebab polusi udara, kepadatan penduduk dan sistem transportasi apapun tak bisa selesaikan kamacetan,” kata Firman di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (27/8).

Hal itu disampaikan dalam forum legislasi ‘”Imbangi Jokowi, Strategi DPR Percepat Pembuatan Regulasi?” bersama anggota Baleg DPR RI Junimart Girsang dan pengamat politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno.

Soal kekhawatiran apakah kalau nanti ganti presiden di 2024, program pemindahan ibukota akan berhenti, karena itu kata Firman, perlu undang-undang (UU) sebagai dasar hukum pemindahan ibukota tersebut.

“Makanya, regulasinya yang akan dibahas di DPR RI ini harus mengikat untuk pemerintahan selanjutnya. Sehingga siapa pun presidennya di 2024 nanti, pemindahan ibu kota itu wajib dilanjutkan,” jelas anggota Komisi II DPR itu.

Karena itu lanjut dia, kepala daerahnya nanti akan ditunjuk langsung oleh presiden, sehingga kepala daerah tersebut tidak merasa lebih berkuasa di sana.

“Jangan seperti Batam, sudah menjadi daerah otorita agar perekonomiannya mampu menyaingi Singapura, tapi wali kotanya dipilih langsung, sehingga merasa lebih berkuasa, dan terjadi konflik sekaligus menghambat perkembangan Batam,” ungkapnya.

Firman minta masyarakat tidak kaget dengan pemindahan ibukota tersebut. Karena hal yang sama sudah dilakukan Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Jepang, Brasil, dan lain-lain.

Dengan demikian Kemenkeu RI sesuai dengan UU NO. 17 tahun 2003 tentang pengelolaan keuangan negara dan DPR harus mendukung. “Jadi, DPR harus segera membahas UU-nya sebagai dasar hukum pemindahan ibukota itu. Sebab, tanpa UU pemindahan itu tak bisa dilakukan,” pungkasnya.

Sementara itu Junimart Girsang menyatakan perlu kajian mendalam terkait rencana pemindahan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur tersebut. Khususnya terkait anggaran, karena untuk Mabes Polri saja diperlukan dana Rp 147 triliun.

“Yang perlu dikritisi dari kajian tiga tahun pemerintah soal pindah ibukota itu adalah anggarannya, pasti akan lebih dari Rp 466 triliun, karena untuk Mabes Polri saja dibutuhkan Rp 147 triliun,” tegas anggota Komisi III DPR itu.

Selanjutynya kata Junimart, pemerintah perlu memastikan batas waktu kepastian ibu kota tersebut, apakah untuk lima (5) tahun, sepuluh (10) tahun mendatang?

“FPDIP siap menyelesaikan UU Pemindahan ibukota itu, tapi kepastian pelaksanaannya kapan? Ini yang harus dijawab. Jangan juga sampai UU itu digugat oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Junimart mengingatkan.

Sebab, menurut Junimar pemindahan Ibukota negara itu tidak semudah yang disampaikan. Pembentukan atau penggabungan daerah baru saja membutuhkan proses yang lama, apalagi pindah ibukota. Sehingga pembahasan UU–nya tak bisa dipaksakan atau buru-buru. “DPR tak bisa dipaksakan untuk selesaikan UU pindah ibukota itu, karena perlu kajian serius dan mendalam,” ungkapnya.

Adi Prayitno juga mendukung, karena Jakarta sudah tak bisa lagi dipertahankan. Selain padat, kemacetan transportasi, polusi udara yang buruk, dan itu ikhtiar baik Jokowi untuk pemerataan ekonomi.

“Jadi, tak perlu  direspons politis dan macam-macam, karena Jokowi pun di 2024 tak bisa lagi maju jadi capres. Saya kira itu murni untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.

Hanya saja perlu sosialiasi yang benar dan baik kepada seluruh masyarakat agar tak direspons dengan aneh-aneh dan salah. “Pemindahan ibu kota ini memang butuh kesiapan mental dan gaya hidup yang tak seperti di Jakarta. Kalau ada 93 PNS Jakarta yang tolak itu alamiah,” pungkasnya. (danu)