Kastara.id, Jakarta – Akhirnya tiga pasangan bakal calon akan meramaikan bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) DKI Jakarta. Jika semua persyaratan terpenuhi, maka dapat dipastikan pada 15 Februari 2017 mendatang, warga Jakarta akan diberikan tiga pilihan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yaitu Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat; Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni; dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Salah satu cara untuk melihat siapa pasangan calon gubernur/wakil gubernur yang paling pantas memimpin Jakarta adalah melihat keberanian pasangan calon menandatangani kontrak politik yang diajukan berbagai komunitas warga Jakarta.

“Jadi nanti ketika kampanye, pasti metode yang dilakukan semua pasangan calon adalah mendatangi komunitas-komunitas warga di Jakarta untuk berdialog. Nah, kesempatan ini harus dimanfaatkan komunitas warga untuk menyodorkan kontrak politik yang tentunya poin-poinnya sesuai kesepakatan warga. Ini cara untuk ‘mengikat’ mereka agar tidak ingkar janji setelah nanti terpilih. Bagi yang tidak berani, jangan dipilih,” ujar Senator Jakarta Fahira Idris, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (26/9).

Mulai saat ini, lanjut Fahira, komunitas-komunitas warga yang ada di Jakarta sudah mulai bisa mengindentifikasi, menginventarisasi, merumuskan, dan memformulasikan isu-isu apa saja yang selama ini menjadi kendala bagi warga dan harus segera diselesaikan. Isu-isunya bisa dimulai dari persoalan umum, misalnya pembenahan sistem transportasi, kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak hingga isu-isu spesifik misalnya soal reklamasi Teluk Jakarta, penggusuran, atau kendala-kendala lain yang dihadapi komunitas warga tersebut misalnya perbaikan fasilitas umum, akses jalan, kemudahan mendapat modal bagi komunitas-komunitas UKM, akses pembinaan dan perlindungan bagi pedagang pasar tradisional dan lainnya.

“Komunitas warga, pasti punya isu spesifik masing-masing. Silahkan diformulasikan dan disodorkan kepada para calon, saat mereka kampanye nanti. Selama poin-poin kontrak politik yang dibuat warga masuk akal, tidak bernuansa SARA, dan untuk kemaslahatan warga, tidak ada alasan bagi calon untuk tidak menandatanganinya,” kata Wakil Ketua Komite III DPD ini.

Agar, kontrak politik nantinya tidak hanya menjadi sehelai kertas yang tidak bermakna, Fahira menyarankan warga juga membuat poin-poin kontrak politik di baliho besar untuk kemudian ditandatangani pasangan calon dan diletakkan di tempat-tempat strategis dan di-publish secara massif lewat berbagai platform saluran komunikasi terutama media massa dan media sosial.

“Ini untuk memberi efek psikologis. Mungkin kalau cuma sehelai kertas daya ingat kita tidak terlalu kuat. Kalau lewat cara-cara ‘tidak biasa’ seperti ini, nanti setelah terpilih, mereka akan ‘dihantui’ untuk segera merealisasikan kontrak politik yang mereka sepakati. Jika perlu, setelah terpilih, isi kontrak politik dibuat prasastinya, pasangan calon terpilih diminta datang dan menandatangai sekali lagi kontrak politik yang sudah mereka setujui saat kampanye. Jika janjinya misalnya menata permukiman kumuh, ya harus ditata, bukan digusur,” ujar Fahira.

Fahira berharap, Pilkada DKI Jakarta kali ini menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia bahwa pemilih lah yang punya kuasa paling besar menentukan siapa pemimpin yang benar-benar sesuai kehendak rakyat, bukan partai politik maupun tokoh-tokohnya. Kuasa besar yang dipunyai rakyat ini harus digunakan secara baik dan rasional, karena jika tidak, rakyatlah yang nantinya akan sengsara.

“Saat dicalonkan kemarin, tentunya semua pasangan calon sudah menandatangani kontrak politik dengan parpol pengusung. Kini saatnya, warga Jakarta sebagai pemegang kuasa tertinggi, menyodorkan kontrak politik kepada semua pasangan calon. Tunjukkan warga punya kuasa, karena itu esensi demokrasi,” kata Fahira. (rya)