M Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Pemerintah masih yakin, penolakan terhadap UU Cipta Kerja disebabkan misinformation. Karena itu, pemerintah merasa perlu memperbanyak sosialisasi.

Hal itu tentu layak diperdebatkan mengingat berbagai elemen masyarakat menolak UU Cipta Kerja bukan semata karena misinformation. MUI, NU, Muhammadiyah, mahasiswa, dan buruh menolaknya karena terkait pada substansi UU tersebut.

Demikian diungkapkan pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga, kepada Kastara.ID di Jakarta, Selasa (27/10).

Menurut pria yang kerap disapa Jamil ini, kalau persoalannya pada substansi UU Cipta Kerja, tentu tidak relevan bila pemerintah memperbanyak sosialisasi. Sebab, lanjutnya, pendekatan ini bersifat searah dan tidak setara di mana pihak pemberi sosialisasi (pemerintah) diasumsikan lebih tahu dan paham tentang UU Cipta Kerja daripada elemen masyarakat yang menolak UU tersebut.

“Jadi, sosialisasi lebih cocok bila ada pihak yang lebih tahu dan di pihak lain ada yang kurang atau belum tahu. Bisa juga karena ada yang lebih tahu, sementara ada pihak yang belum cukup informasi,” papar penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.

Jamil menjelaskan, dalam kondisi demikian, sosialisasi UU Cipta Kerja dalam ketidaksetaraan dan satu arah kiranya masih dapat diterima akal sehat. Pihak yang tidak tahu akan lebih banyak mendengarkan celoteh dari pihak yang lebih tahu.

“Pihak yang tidak tahu atau kurang informasi juga lumrah bila lebih banyak bertanya dalam sosialiaasi. Sementara pihak pemberi sosialisasi dengan sendirinya akan lebih banyak menjawab pertanyaan peserta sosialiasi,” ungkapnya.

Hanya saja, Jamil berpendapat bahwa penolakan terhadap UU Cipta kerja lebih disebabkan pada subtansi isinya. “Karena itu, posisi penolak UU tersebut dan pemerintah setara. Kedua belah pihak sama-sama tahu dan paham substansi UU Cipta Kerja. Namun mereka berbeda dalam melihat konsekuensi bila UU tersebut dilaksanakan,” ujar penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.

Jamil pun mencontohkan, pihak pemerintah sangat yakin UU Cipta Kerja akan dapat menarik investor sebanyak-banyaknya sehingga dapat mengatasi pengangguran. Sementara pihak penolak melihat UU Cipta Kerja hanya menguntungkan investor, tapi tidak berpihak pada pekerja. Bahkan UU Cipta dinilai berpeluang merusak lingkungan.

Dalam kondisi seperti itu, Jamil justru melihat sosialisasi sangat tidak pas digunakan. Pihak-pihak yang merasa setara tentu tidak akan sudi dicekoki informasi tentang UU Cipta Kerja agar memahami alur pikir si pemberi sosialisasi.

“Mereka juga akan dengan sendirinya menolak komunikasi satu arah. Apalagi komunikasi satu arah itu diembel-embeli dengan stigma negatif terhadap pihak penolak UU Cipta Kerja,” tandas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Untuk mengatasi perbedaan itu, kiranya komunikasi dua arah yang dialogis dinilai paling pas. Jamil berpendapat bahwa jika melalui dialog prinsip kesetaraan dapat dipenuhi, sehingga memberi ruang untuk masing-masing pihak menyamakan persepsi dari setiap perbedaan di antara mereka.

“Melalui prinsip kesetaraan itu pula, pihak pemerintah dan pihak penolak UU Cipta Kerja dapat saling berbagi informasi untuk mencari kesepakatan bersama. Tentu saling berbagi informasi di sini dalam situasi nyaman dan aman, tanpa ada tekanan dari pihak manapun,” imbuhnya.

Menurut mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini, kalau prinsip ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka gelombang demonstrasi menolak UU Cipta Kerja dapat diminimalkan. Pihak penolak UU akan merasa dimanusiakan dengan diberi ruang untuk berdialog dalam kesetaraan.

Tentu dialog itu akan produktif bila masing-masing pihak mau memberi dan menerima dengan pikiran jernih. Hanya dengan begitu, kata Jamil, peluang titik temu dapat diperoleh bagi pihak-pihak yang setara.

“Masalahnya, apakah pihak pemerintah mau duduk bersama dalam kesetaraan dengan pihak penolak UU Cipta Kerja, khususnya dengan mahasiswa dan buruh? Jawabnya hanya pihak pemerintah yang tahu,” pungkasnya. (jie)