Oleh: Muhammad AS Hikam

Gegeran soal pelarangan mendirikan shalat Jumat di Jalan Thamrin, Jakarta, dalam mengantisipasi demo 2 Desember (212) yang akan datang, menurut hemat saya bukanlah hanya perkara teknis semata. Ia merupakan salah satu indikator sekaligus bukti betapa masih ringkihnya sistem demokrasi yang sedang dijalankan di republik ini pasca-reformasi 1998. Kendati landasan-landasan formal dan institusional sistem tersebut sudah cukup kokoh dan menjadi penopang bagi terlaksananya “demokrasi formal” sejak 1998, tetapi pada tataran rule of law dan etika tampak masih memprihatinkan.

Kontroversi masalah jumatan di jalan ini, bagi saya, menunjukkan bahwa pihak-pihak yang menginginkan pengerahan massa pada 212 tak memedulikan lagi apakah tindakan tersebut telah sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama, dalam bentuk UU. Yang penting bagi mereka adalah modus yang digunakan itu akan mampu menarik perhatian dan menampilkan pesan bahwa ummat Islam sedang menyampaikan aspirasinya untuk menekan Pemerintah dalam kasus Ahok. Semakin besar massa yang akan hadir, semakin dianggap sebagai kuat dan, karena itu, benar. Di sini terkesan yang berlaku adalah etika “the might is right” alias siapa yang punya kekuatan besar, itu yang benar.

Padahal, di dalam sistem demokrasi, ukuran besarnya massa hanyalah salah satu dari indikator bahwa aspirasi publik itu ada. Massa yang besar jika tidak terkontrol dan tidak mengikuti aturan hukum justru akan membuka peluang kepada hancurnya demokrasi. Plato, filsuf Yunani kuno, menengarai adanya simptom penyakit bagi demokrasi itu dan menyebutnya sebagai ‘mobokrasi’ alias kekuasaan di tangan massa yang berkerumun. Massa bukanlah publik, mobokrasi bukan demokrasi atau res publica. Mobokrasi tak lebih dan tak kurang hanyalah alat bagi munculnya sebuah tirani, demikian menurut guru dari Arsitoteles itu.

Pemerintah dan aparat keamanan, khususnya Polri, jelas tidak mengada-ada, apalagi menbatasi pelaksanaan demo 212, ketika memberikan peringatan dan juga larangan terkait Jumatan di jalan tersebut. Larangan tersebut sama sekali tidak ditujukan untuk menghambat dan membendung aspirasi publik yang melakukan demo 212, tetapi terkait dengan pengawasan ketertiban umum, terkait bukan saja untuk pelaku demo, tetapi juga pihak-pihak pengguna fasilitas publik lainnya. Kalaupun peserta demo jumlahnya lebih dari 411, pihak keamanan juga tak bisa melarang, tetapi mereka berhak mengatur. Dalam konteks berdemokrasi, Polri justru sedang melaksanakan sebuah fungsi yang sangat penting yakni menjaga agar proses demokrasi terhindar dari proses menjadi mobokrasi.

Jadi, dengan segala hormat, soal intinya bukan pada sah atau tidak sahnya melakukan shalat Jumat di jalan, sebab hal itu ranah aturan keagamaan (fiqh) yang mungkin berbeda-beda menurut pihak-pihak yang punya wewenang memberi fatwa. Soalnya adalah pada bagaimana sistem demokrasi tetap dilaksanakan tegak di atas prinsip rule of law dan etika. Dengan kata lain, apakah para pemrakarsa demo 212 mau memahami prinsip rule of law dan etika berdemokrasi atau mengabaikannya. Sebab di permukaan memang berdemokrasi bisa saja tampil dengan wajah pengerahan massa yang besar, sebagai refleksi hak menyatakan pendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Namun tanpa ada komitmen terhadap “rule of law”, tampilan massa tersebut akan sangat mudah terdistorsi menjadi jalan menuju mobokrasi. (*)