Visa Israel

Kastara.ID, Jakarta – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengkritik sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membiarkan pengaktifan calling visa bagi Israel. Pengaktifan calling visa adalah bagian dari soft diplomasi dengan Israel. Keputusan itu seolah membuka pintu bagi normalisasi hubungan diplomatik dengan negara yang hingga kini menjajah Palestina itu.

Hidayat menegaskan, hingga kini Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan Jokowi secara terbuka menyerukan boikot terhadap Israel. Dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina itu diserukan Jokowi saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada 2016.

Saat memberikan keterangan (26/11), politisi PKS ini menyebut seharusnya seruan tersebut benar-benar diperjuangkan dan diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia. Pengaktifan calling visa sama saja dengan Jokowi menelan ludahnya sendiri. Jokowi seolah mengingkari seruannya sendiri.

Hidayat mengingatkan, sejak era Presiden Soekarno, Indonesia tidak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Menurut Hidayat, Bung Karno pernah menegaskan selama Israel masih menjajah Palestina, maka selama itu juga Indonesia tidak membuka hubungan dengan Yahudi itu. Seharusnya hal ini diikuti pula oleh Jokowi.

Hidayat menambahkan, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina adalah amanat Pembukaan Undangan-Undang Dasar (UUD) 1945. Inilah saatnya Indonesia ikut menegakkan hukum internasional terhadap Israel. Sekaligus membela kemerdekaan dan hak asasi manusia rakyat Palestina yang selalu dilanggar Israel.

Sebelumnya, pada Senin (23/11) lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengangaktifkan layanan visa elektronik (e-Visa) bagi orang asing subjek calling visa. Terdapat delapan negara yang diaktifkan calling visa-nya, yakni Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia.

Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menyebutkan, negara calling visa adalah negara yang dinilai mempunyai tingkat kerawanan dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian. (ant)