Pileg

Kastara.ID, Jakarta – Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo menilai pemilu serentak 2019 kali ini menjadi rumit, di mana dibutuhkan modal yang besar dan terjadi pergeseran politik yang pragmatis, sehingga pileg tenggelam oleh pilpres. Maka DPR sepakat untuk mengubah UU Pemilu menjadi terpisah antara pileg dan pilpres.

“Jadi, pemilu serentak kali ini semua merasakan sangat rumit, membutuhkan biaya yang besar dan terjadi pergeseran politik masyarakat, maka sudah seharusnya UU Pemilu No.7 tahun 2017 tentang pemilu diubah,” tegas anggota Komisi II DPR RI Firman Subagyo.

Hal itu disampaikan dalam dialektika demokrasi ‘Tenggelamnya caleg di tengah hiruk-pikuknya pilpres’ bersama anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon, pengamat politik LIPI Muhammad Khoirul Muqtafa, dan Ketua BEM UI Manik Marga Mahendrata di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (28/3).

Firman mengakui, jika dalam kampanye kali ini dirinya mengharuskan biaya yang besar. Karena itu dia khawatir caleg yang terpilih dalam pemilu nanti hanya orang-orang yang bermodal besar. “Selain rumit karena serentak, yang bisa kampanye besar-besaran hanya caleg yang bermodal besar. Ini tak bisa dibiarkan, sehingga perlunya merevisi UU pemilu,” ujarnya.

Mengapa? Kata Firman, pileg ini lebih penting karena akan mengisi parlemen di DPR RI, DPD RI, dan DPRD. Sehingga DPR RI yang mewakili rakyat dan membuat UU, menyusun anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah ini jangan tidak berkualitas. “Jadi, sistem pemilu ini harus direvisi,” ungkapnya.

Hal yang sama disampaikan Effendi Simbolon bahwa pileg dan pilpres harus dipisah. “Jangan sampai terjadi kekosongan di DPR RI. “Karena itu selain dipisah, saya minta penghitungan suara pileg terlebih dahulu daripada pilpres. Sebab, jika nanti pilpres sudah dihitung dan terjadi chaos, sementara pileg belum dhitung, maka parlemen akan kosong. Bagaimana?” katanya singkat.

Sementara itu Khoirul Muqtafa menekankan perlunya caleg memiliki empat modal; yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. Sehingga caleg-caleg yang memahami keempat modal itu yang berpeluang untuk dipilih rakyat.

“Tentu, inovasi dan kreativitas caleg berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Semua tergantung kearifan lokal masing-masing. Kalau di Jawa Timur, maka harus akrab dengan kultur santrinya,” kata Khoirul.

Manik Marga Mahendrata mengakui jika di kalangan mahasiswa lebih tertarik dengan pilpres dalam pemilu kali ini. Tapi, mahasiswa tetap mempertimbangkan rekam jejak atau track record caleg maupun pilpres.

“Kita ingin caleg itu jelas jejak rekamnya, visi, misi dan programnya jika terpilih menjadi wakil rakyat. Demikian juga dengan pilpres, sehingga keterpilihan politik itu bisa dipertanggungjawabkan,” tutur Manik. (danu)