Umrah dan Haji

Kastara.ID, Jakarta – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memastikan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang diubah penamaannya menjadi Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU), akan disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (28/3). Pengesahan  RUU PIHU menjadi bukti, walaupun sedang disibukkan dengan Pemilu, DPR RI tetap fokus menyelesaikan berbagai tugas legislasi yang berkenaan langsung dengan kehidupan rakyat.

“Jika di UU lama hanya mengatur tentang haji, setelah revisi diatur pula tentang umroh. UU ini juga memberikan kepastian jamaah terlayani dengan baik. Penindakan pidana kepada biro travel juga diatur secara jelas, sehingga memberikan kepastian hukum kepada para jemaah,” ujar Bamsoet, sapaan akrabnya, saat menerima pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), di ruang kerja Ketua DPR RI, Senayan, Jakarta (27/3).

Pengurus IPHI yang hadir antara lain Ismed Hasan Putro (Ketua Umum), HM Samidin Nashir (Sekjen), K. Zulkarnain (Wakil Sekjen), Haruk Rofida (Wakil Sekjen), Gatot Solahudin (Wakil Sekjen), dan Makrus Ali (Departemen Hukum).

Politisi Partai Golkar ini menjelaskan, dalam UU PIHU juga diatur adanya prioritas kepada jemaah Haji difabel dan lansia yang berusia di atas 65 tahun. Ada juga ketentuan jika calon jemaah Haji meninggal dunia, terdapat pelimpahan porsi keberangkatan dan daftar tunggu kepada anggota keluarga yang menggantikan.

“Karena menyesuaikan dengan kuota Haji yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia yang kadang berubah setiap tahunnya, maka mekanisme keberangkatan jemaah Haji ditentukan oleh Keputusan Menteri Agama, tidak spesifik diatur dalam UU. Namun DPR RI selalu menekankan kepada Kementerian Agama agar memperbaiki pola penyusunan daftar tunggu, sehingga ada standar baku keberangkatan jamaah haji menggadopsi pola first in, first out,” tutur Bamsoet.

Legislator dapil Jawa Tengah VII ini menuturkan, pengurus IPHI juga menyampaikan aspirasi tentang manajemen pengelolaan keuangan haji. Sebagaimana ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Kementerian Agama tak lagi mengelola dana haji. Melainkan diserahkan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Presiden Joko Widodo pada 13 Februari 2018 juga sudah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2014.

Data dari BPKH, potensi dana kelolaan Haji mencapai Rp 114 triliun. Tak hanya memegang dana pelaksanaan ibadah Haji yang disimpan dalam bank-bank yang ditunjuk sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) saja, BPKH juga mengelolanya sesuai aturan pengeluaran penempatan dan investasi keuangan Haji.

“Selain diparkir dalam deposito syariah, surat berharga syariah negara, dan sukuk dana Haji Indonesia, dana Haji juga bisa digunakan untuk investasi langsung yang berkaitan dengan penyelengggaraan ibadah Haji. Misalnya, membangun industri hotel di Makkah dan Madinah, maupun ke dalam industri penerbangan. Sehingga bisa berefek langsung kepada peningkatan pelayanan haji yang diterima oleh jemaah Indonesia,” jelas Bamsoet.

Mengingat besarnya jumlah jemaah haji Indonesia, yang pada tahun 2019 ini saja kuotanya mencapai 221.000, Bamsoet mendorong IPHI bisa menghimpun potensi ekonomi keumatan yang bisa dimaksimalkan. Misalnya dengan membuat usaha bersama berupa minimarket yang menyediakan kebutuhan sembako, maupun membuat jaringan usaha yang bisa menggerakan roda ekonomi nasional.

“IPHI tak hanya berperan dalam proses keberangkataan Haji saja, melainkan juga pembinaan usai para jemaah pulang ke Indonesia. Usai melaksanakan ibadah Haji, ukhuwah persaudaraan antar sesama jemaah biasanya akan sangat kuat sekali. Sayang jika tidak dikembangkan untuk memaksimalkannya bagi kebaikan umat,” papar Bamsoet.

Tak hanya itu, Bamsoet juga mengajak IPHI bisa menjadi mitra kerja aktif pemerintah dan DPR RI. Terutama dalam mengedukasi masyarakat agar bisa mendapatkan informasi yang utuh seputar penyelenggaraan ibadah Haji dan Umrah.

“Misalnya, masih banyak yang salah paham bahwa Visa Progresif Umroh sebesar 2.000 real (sekitar Rp 8,3 juta rupiah) yang dinilai memberatkan jemaah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Padahal ketentuan tersebut datangnya dari Pemerintah Arab Saudi. Tak hanya umrah, Pemerintah Arab Saudi juga mulai mengenakan Visa Progresif Haji,” urai Bamsoet.

Awalnya, lanjut Bamsoet, aturan Visa Progresif Umroh tersebut berlaku lima tahun. Namun karena banyak negara-negara berpenduduk muslim yang keberatan, termasuk Indonesia, Pemerintah Arab Saudi merevisinya menjadi 2 tahun. Aturan ini bukan untuk menghalangi, namun untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang agar bisa melakukan ibadah Umrah dan Haji.

“Pengenaan visa progresif Umrah yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi berdasarkan nomor paspor. Tak jarang jemaah dari berbagai negara mengakali dengan membuat paspor baru atau e-paspor, sehingga nomor paspornya berbeda dengan paspor yang lama. Saya imbau agar jemaah Indonesia tidak melakukan hal ini. Karena niat ke Tanah Suci untuk ibadah, maka cara-cara yang dilakukan pun seyogyanya juga dilakukan sesuai aturan,” pungkas Bamsoet. (rya)