Sampah

Kastara.ID, Jakarta – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menyampaikan usulan perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah dalam rapat paripurna bersama DPRD DKI Jakarta. Perubahan dilakukan untuk mengakomodasi berbagai terobosan dan inovasi dalam pengelolaan sampah Ibukota.

Saat ini Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sudah mencapai 39 juta ton atau sekitar 80 persen dari kapasitas maksimalnya 49 juta ton. Sementara rata-rata volume sampah dari wilayah Provinsi DKI Jakarta yang terkirim ke TPST Bantargebang pada Tahun 2018 sebesar 7.452,60 ton/hari. Jika dibiarkan, maka diperkirakan pada tahun 2021 TPST Bantargebang tidak lagi mampu menampung sampah dari Provinsi DKI Jakarta.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, revisi Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah sangat dibutuhkan. Berbagai terobosan dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, diantaranya adalah mendorong lahirnya gerakan masyarakat agar terlibat dalam pengurangan sampah di sumber.

Salah satunya adalah mempercepat pembangunan proyek pengelolaan sampah dengan konsep Intermediate Treatment Facility (ITF) untuk mengolah sampah di dalam kota. “Ini sesuai harapan Bapak Gubernur bahwa pengelolaan sampah merupakan kolaborasi bersama pemerintah dan masyarakat,” ujarnya, dikutip dari siaran pers PPID Provinsi DKI Jakarta, Jumat (28/7).

Pemprov DKI Jakarta menargetkan tersedianya 4 (empat) ITF dalam kota. ITF Sunter di Jakarta Utara menjadi salah satu ITF yang sudah dilakukan groundbreaking pada 20 Desember 2018, pembangunannya dilakukan dengan skema penugasan kepada BUMD, PT. Jakarta Propertindo. Selain ITF Sunter juga akan dibangun ITF lainnya di daerah Marunda, Cakung, dan Jakarta Barat.

Untuk meningkatkan kualitas penanganan sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan di Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA), yang bentuknya berupa ITF, TPST, TPST 3R (reduce, reuse, recycle), Bank Sampah, Komposting, dan lainnya.

Berbagai terobosan ini diharapkan mampu mereduksi 80% sampah di dalam kota, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dan memperpanjang usia pakai TPST Bantargebang. Namun, bebagai terobosan dan inovasi tersebut memerlukan dukungan regulasi, kelembagaan, dan finansial yang  memadai.

“Salah satu komponen krusial adalah terkait dengan pembiayaan, maka kita membutuhkan revisi Perda sebagai payung hukumnya,” terangnya.

Terkait pembiayaan, Pemprov DKI Jakarta mengusulkan terminologi baru, yakni Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) dalam revisi perda tersebut. BLPS akan dimasukkan dalam bagian pendanaan pengelolaan sampah. Terminologi BLPS sebelumnya sudah muncul lebih dulu dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Selain itu, revisi Perda ini juga dimaksudkan agar Pemprov DKI Jakarta dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam pengadaan dan pengoperasian fasilitas pengolahan sampah, baik dengan BUMD maupun badan usaha swasta. (hop)