Amien Rais

Oleh: Erros Djarot

SEJUMLAH pentolan pendiri Partai Amanat Nasional, Abdillah Toha, Goenawan Mohamad, Albert Hasibuan, Toeti Heraty, dan Zumrotin, berkirim surat kepada Amien Rais yang disampaikan secara terbuka di ruang publik. Mereka ‘mendesak’ agar tokoh reformasi yang sudah mulai uzur ini, mau menggantung ‘sarung tinju politik’nya, pensiun dari dunia politik praktis. Alasannya agar suasana dunia politik di negeri ini menjadi lebih adem, lebih sehat, dan lebih mencerdaskan publik.

Secara eksplisit 5 sekawan senior pendiri PAN ini menilai bahwa sepak terjang Amien Rais belakangan ini telah jauh melenceng dari cita-cita perjuangan reformasi; yang salah satu tujuan utamanya membangun peradaban kehidupan berkonstitusi secara lebih baik dan benar ketimbang apa yang telah diperagakan oleh rezim Orde Baru. Karenanya memperkokoh bangunan demokrasi yang membebaskan masyarakat dari berbagai keterbelakangan dan kemunduran dalam memahami dan menjalankan kehidupan berdemokrasi secara sehat dan bermartabat, menjadi misi perjuangan partai yang harus direalisasikan secara nyata, tertata, terukur, dan teruji.

Itulah sebabnya mengapa sejumlah tindakan dan perilaku Amien Rais sebagai tokoh reformasi yang belakangan ini dinilai cenderung sangat aktif menebar kebencian dalam bingkai politik aliran, dirasa perlu untuk diberi teguran keras. Langkah ini diambil karena mereka masih tetap mengharapkan terwujudnya cita-cita reformasi sebagaimana harapan mereka pada saat mencanangkan gerakan Reformasi menumbangkan rezim otoriter Orde Baru.  Satu hal yang oleh mereka dirasa sangat memilukan hati ketika menerima kenyataan adanya indikasi ‘keterlibatan’ secara tidak langsung Amien Rais dalam gerakan yang berupaya menghidupkan kembali bangunan rezim Orde Baru.

Besar kemungkinan penilaian ini berkaitan dengan pidato Titi Hedianti Soeharto yang dalam orasi politiknya mengumbar ‘janji politik’ bahwa bila kelak Prabowo menang Orde Baru akan kembali bangkit dan di bangkitkan. Sementara Amien Rais adalah seorang tokoh dan sesepuh di kalangan  partai-partai pendukung dan pengusung Prabowo-Sandiaga Uno yang salah satunya adalah Partai Berkarya.

Dengan tak ada kata penolakan dari Amien Rais, hal ini ditangkap sebagai signal bahwa Amien Rais tak berkeberatan atas langkah perjuangan politik yang dicanangkan salah satu anggota kelompoknya. Maka tidak terlalu salah bila kemudian disimpulkan bahwa Amien Rais merestui perjuangan politik Partai Berkarya besutan duet kakak beradik putera-puteri mendiang Jenderal Soeharto. Karena Amien Rais memilih diam.

Apakah diamnya Amien Rais ini terinspirasi oleh kata bijak ‘silent is golden…diam adalah emas’, bisa jadi (???) Sementara di sisi lain, Amien Rais sangat vokal dan aktif melontarkan kritik terhadap berbagai langkah Jokowi dan kinerja para Menteri Kabinet Kerjanya. Bahkan sering publik menilai kritik dan lontaran ucapannya mengandung ujaran kebencian yang terkesan kuat adanya upaya mengadu domba dan membelah publik ke dalam dua kubu yang harus bertentangan secara abadi. Mungkin sekali para sahabat 5 sekawan menangkap sering kali masalah perbedaan ras dan agama dijadikan pijakan Amien Rais dalam menjalankan praktik politik (aliran) praktisnya sebagai oposisi. Hal mana dirasa sudah ke luar dari jalur perjuangan PAN sebagai partai modern sebagaimana tujuan saat didirikannya.

Benar dan memang demikiankah Amien Rais? Tentu saja para kader aktif dan fungsionaris PAN menolak penilaian para sahabat 5 sekawan ini. Bahkan secara tegas mereka dianggap sudah tidak relevan lagi melakukan kritik terbuka mengatasnamakan demi kepentingan PAN. Pertama karena mereka sudah lama ke luar dari partai yang didirikannya yang  dianggap sebagai langkah tidak konsisten dan karenanya tak pantas melontarkan kritik terbuka seperti yang mereka lakukan. Kedua berkaitan dengan tahun politik sehingga diduga keras ada misi politik mendegradasi PAN dan pasangan Capres – Cawapres yang PAN dukung, karena dari keempat pendiri PAN terindikasi sangat kuat ada yang selalu tampil sebagai pendukung fanatik Jokowi.

Siapa dan mana yang benar memberikan argumentasi, bagi masyarakat rasanya sudah tak begitu penting lagi. Publik sudah dapat memberikan penilaian sendiri. Sehingga ada yang bahkan berkomentar..”buat apa nyuruh AR mundur segala? Bukannya dia sendiri yang sudah membuat dirinya mundur?! Karena yang dilakukan dan ditawarkan AR tidak ada yang lain kecuali kemunduran..!” Benarkah begitu? Biarkanlah waktu yang menjawab.

Hanya saja bagi saya sulit membayangkan bagaimana seorang politisi merangkap ideolog bisa pensiun? Kecuali pegawai negeri dan tentara sangat mudah dibayangkan karena masa tugas menjadi faktor determinasinya. Nah, kalo politisi apalagi ideolog? Paling banter yang bisa dilekatkan kepadanya hanya predikat politisi gaek yang makin tua makin meredup segalanya! Bukan bertambah arif tapi semakin infantile, genit, dan kekanak-kanakan.

Apakah demikian dengan Amien Rais? Saya tidak berkompeten memberikan penilaian. Karena Hakim Agung dalam kaitan ini ya masyarakat, rakyat Indonesia yang berwenang menjatuhkan penilaian tersebut. Karena hal yang serba mundur ini bukan hanya bisa terjadi pada Amien Rais saja, tapi kepada siapa saja yang mengaku dirinya seorang politisi kawakan, apa lagi dengan embel-embel…Negarawan handal! (watyutink)

(*) Budayawan