Pemilu

Kastara.ID, Jakarta – Gelaran Pemilu 2019 atau pemilu kelima pascareformasi meninggalkan catatan yang menyesakkan dada. Pasalnya, sudah ratusan jiwa lebih dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menghembuskan nyawa dan ribuan yang harus tergeletak sakit akibat kelelahan karena menjalankan tugas mulia melayani hak pilih rakyat.

Gelaran pemilu serentak (pemilu presiden dan pemilu legislatif) yang tidak disertai analisis beban kerja KPPS serta manajamen pemilu yang belum ramah terhadap KPPS dianggap menjadi salah satu faktor terjadinya ‘musibah’ ini.

Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan hukum, politik, dan HAM mengungkapkan, salah satu cara negara ini bertanggung jawab dan memberi penghormatan serta penghargaan kepada KPPS yang meninggal adalah mengevaluasi total manajemen penyelenggaraan Pemilu 2019. Harusnya, saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pada Pemilu 2019 harus digelar serentak, para pengambil kebijakan di negeri ini terutama para pembuat undang-undang (Pemerintah dan DPR) dan penyelenggara pemilu, terutama KPU, memikirkan beban kerja yang akan ditanggung KPPS akibat pemilu digabung.

Putusan MK (pemilu serentak) yang diputus tahun 2014, atau lima tahun sebelum Pemilu 2019 digelar, lanjut Fahira, harusnya menjadikan analisis beban kerja yang bakal dihadapi KPPS karena harus melaksanakan pemilu serentak dalam satu hari, sebagai salah satu referensi utama dalam setiap penyusunan regulasi, aturan teknis, dan manajemen pemilu 2019.

“Menggelar pilpres dan pileg bersamaan pasti menguras fisik dan psikis KPPS. Tidak hanya membuat proses di TPS menjadi lebih lama, tetapi pasti lebih banyak detil yang harus diperhatikan. Dan ini sangat melelahkan. Oleh karena itu, pemilu 2024 dan seterusnya analisis beban KPPS harus jadi prioritas pelaksaanan pemilu dan saya berharap pemilu selanjutnya, pilpres dan pileg dipisah saja,” ujar Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (29/4).

Menurut Fahira, menjadi KPPS tidak hanya menguras tenaga tetapi juga pikiran atau psikis. Jika merujuk ke Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan berbagai Peraturan KPU, tanggung jawab dan beban yang harus dipukul petugas KPPS begitu detail dan komprehensif serta harus berhadapan langsung dengan pemilih. Belum lagi begitu banyaknya deretan aturan sanksi hukum bagi petugas KPPS dalam UU Pemilu.

“Sedikit saja ada kekeliruan sanksi hukum menanti. Hal-hal teknis yang bagi kita kecil, misalnya logistik terlambat sampai ke TPS, menjadi beban pikiran besar bagi KPPS. Belum lagi berbagai protes yang mereka harus terima dari pemilih. Mereka itu ujung tombak pemilu kita. Karena mereka, pemilu ini terselenggara. Sudah sepatutnya beban KPPS menjadi rujukan kita dalam menyusun aturan sehingga kejadian ini menjadi yang terakhir,” pungkas Senator Jakarta ini. (dwi)