Industri Mamin

Kastara.ID, Jakarta – Kementerian Perindustrian memproyeksikan industri makanan dan minuman (mamin) serta industri tesktil dan produk tekstil (TPT) dapat tumbuh tinggi pada semester I tahun 2019. Kinerja positif pada kedua sektor manufaktur tersebut, didukung adanya momentum Pemilihan Umum dan Ramadan.

“Kami meyakini, konsumsi produk-produk sektor industri itu semakin meningkat, terutama di pasar domestik. Hal ini seiring pelaksanaan Pemilu dan masuknya bulan Ramadan,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar di Jakarta, Senin (29/4).

Haris menjelaskan, selama ini industri mamin dan TPT konsisten memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan sektor nonmigas dan ekonomi nasional. Kemenperin mencatat, sepanjang tahun 2018, pertumbuhan industri TPT sebesar 8,73 persen serta industri mamin di angka 7,91 persen. Capaian ini melampaui pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu yang menembus 5,17 persen.

“Kami berharap, industri mamin akan tumbuh 9 persen lebih. Pertumbuhan sektor ini juga ditopang karena adanya peningkatan investasi, termasuk di industri TPT serta alas kaki,” ungkapnya. Sekjen Kemenperin optimistis, beberapa sektor manufaktur lainnya akan menujukkan pula geliat positif seperti industri logam, petrokimia, elektronika, dan otomotif.

“Sektor-sektor tersebut yang memang kami prioritaskan pengembangannya agar lebih berdaya saing global, sesuai implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0,” ujarnya. Oleh karena itu, pemerintah bertekad untuk terus menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memberikan kemudahan dalam perizinan usaha.

“Yang sudah bisa kita lihat bahwa Pemilu berjalan aman dan lancar. Artinya, dari sisi sosial, politik dan ekonomi, akan terjadi hal yang baik. Untuk itu, kepercayaan kepada pemerintah harus terus dijaga. Program yang sudah berjalan baik, perlu didukung,” paparnya.

Adanya langkah sinergi tersebut, pemerintah juga akan memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka bisa berbisnis di Indonesia dengan aman. “Selain itu, agar industri dapat tumbuh, pemerintah memacu dengan memberikan insentif. Misalnya yang akan dikeluarkan, yakni super deductible tax untuk mendukung inovasi dan vokasi industri,” imbuhnya.

Seiring dengan bergulirnya era digitalisasi, pemerintah aktif mengajak pelaku industri nasional agar dapat memanfaatkan teknologi terkini. Penerapan teknologi industri 4.0 ini guna meningkatkan produktivitas dan kualitas secara lebih efisien.

“Pemerintah terus mendorong apabila ada investasi yang masuk, harus ada transfer teknologi,” tutur Haris. Industri manufaktur juga dipacu untuk semakin giat melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan dalam menunjang penciptaan inovasi produk.

Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menginginkan fokus pembangunan nasional saat ini adalah pengembangan SDM yang berkualitas. Maka itu, pemerintah memfasilitasi penyediaan tenaga kerja kompeten sesuai kebutuhan industri. Apalagi, Indonesia sedang menikmati masa bonus demografi hingga tahun 2030, yang menjadi potensi untuk mendongkrak perekonomian nasional.

Dalam sasaran tersebut, Kemenperin telah menjalankan berbagai langkah strategis, antara lain program link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri serta Diklat 3in1. “Untuk program vokasi, sejak 2017 sampai saat ini, kami sudah melakukan link and match antara 1.000 perusahaan industri dengan lebih dari 2.600 SMK. Sedangkan Diklat 3in1, kami targetkan tahun ini dapat diikuti sebanyak 72 ribu peserta yang juga melibatkan kaum disabilitas,” sebutnya.

Efek hilirisasi industri
Di samping itu, Haris menegaskan, Kemenperin tetap konsisten mendorong pelaksanaan kebijakan hilirisasi industri. Langkah strategis meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri ini diyakini mampu memberikan efek berantai yang luas bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

“Prinsip dari hilirisasi adalah meningkatkan nilai tambah. Dahulu kita mengekspor mineral tambang, seperti nickle ore. Tetapi saat ini kita sudah proses menjadi nickel pig iron (NPI). Ini sudah berkali lipat nilai tambahnya, dari nilainya sekitar USD 30 per metrik ton, menjadi USD 1300-1400. Apalagi sekarang sudah kita tingkatkan lagi menjad stailess steel,” ungkapnya.

Misalnya di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah, salah satu pusat pengembangan smelter nikel ini telah memberikan kontribusi signfikan bagi perekonomian daerah setempat dan nasional. Dari kawasan tersebut, nilai investasi sudah menembus USD 5 miliar, ekspornya mencapai USD 4 miliar, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 30 ribu orang hingga tahun 2018.

“Jadi, yang namanya produk tambang atau galian nonlogam, itu juga kita pacu hilirisasinya. Dahulu kita ekspor bauksit dan impor alumina untuk menjadikan aluminium. Tetapi sekarang kita sudah punya pabrik untuk mengolah bauksit menjadi alumina, sehingga industri aluminium kita bisa menggunakan bahan baku yang kita produksi sendiri. Ini contoh dari dampak hilirisasi,” imbuhnya.

Selain itu, program hilirisasi di sektor agro seperti industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), memberikan rasio ekspor produk hilir di industri CPO sebesar 80 persen dibandingkan produk hulu. “Kita sudah melakukan diversifikasi produk CPO, sehingga produk turunan CPO kita sudah banyak hingga lebih dari 100 produk, sampai misalnya kepada produk biodiesel,” ujar Haris.

Oleh karenanya, melalui hilirisasi, industri manufaktur juga memberikan sumbangsih terbesar bagi nilai ekspor nasional. “Tahun lalu, kontribusi ekspor produk manufaktur mencapai 72,28 persen dari total ekspor nasional,” tuturnya. Nilai ekspor industri pengolahan nonmigas sepanjang tahun 2018 mampu menembus USD 130,74 miliar atau naik dibanding tahun 2017 sebesar USD 125,10 miliar.

“Produk ungggulan espor kita, di antaranya makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, hingga kendaraan roda dua dan empat. Bahkan, salah satu perusahan farmasi kita sudah menjadi tiga besar di pasar Inggris dan mulai ekspansi ke negara Eropa lainnya,” paparnya.

Untuk itu, guna memacu produktivitas industri di dalam negeri, Kemenperin terus berupaya menjaga ketersediaan bahan baku dan bahan penolong sebagai kebutuhan proses produksi di sektor manufaktur. Di samping itu, diperlukan harga energi yang lebih kompetitif untuk sektor industri, baik itu listrik maupun gas. Ini yang akan mendorong pula daya saing di kancah internasional.

“Selain menggenjot nilai ekspor, pemerintah sedang fokus menarik investasi, terutama untuk sektor industri yang berperan sebagai substitusi impor,” terangnya. Dengan adanya investasi masuk, akan terjadi transfer teknologi ke perusahaan lokal, terutama dalam penerapan digitalisasi seiring dengan kesiapan dalam memasuki era industri 4.0.

Haris menambahkan, pertumbuham industri sangat bergantung pada tiga faktor, yakni investasi, teknologi dan SDM. “Dengan adanya investasi, industri itu akan tumbuh. Kemudian yang kedua. diperkuat dengan teknologi dan SDM. Tiga hal tersebut sudah dipikirkan oeh pemerintah, seperti melalui pemberian insentif,” tuturnya. (mar)