Gerhana Tuhan

Oleh: Mohammad Sabri

BILAKAH Tuhan—Yang  NuminousYang Mahacinta, dan Yang Mysterium—disaput  gerhana? Martin Buber, filsuf Jerman dan penulis buku terkenal Ich und Du (1923) mendaku, “Ketika ketuhanan bukannya ditampik, melainkan terlindung dari pengintaian zaman.” Dalam perspektif historis, seteru antara “iman” personal dan “agama” komunal memang memapankan kegelapan zaman. Di titik ini, Buber mengandaikan situasi itu sebagai “gerhana Tuhan”.

Gerhana Tuhan, juga pernah dihentakkan tiga pemuka pemikir ateis Nietzsche, Marx, dan Freud. Nietzsche dikenal sebagai “pembunuh Tuhan” dan dalam pandangan religiusitas dia diposisikan sebagai penista agama, jika bukannya penghujat Tuhan. Dalam sejarah filsafat, ateisme Nietzsche yang keras, karena itu, tidak lagi diletakkan sebatas “permainan bahasa” (language game) yang menyangkal eksistensi Tuhan, melainkan menyelinap ke dalam napas praktis kehidupannya. Nietzsche dengan tegas mewartakan—seakan tampil sebagai “nabi baru”—“Zaman baru kini telah tiba: zaman tanpa Tuhan, niragama, ketiadaan yang transenden dan yang mysterion.”

Ateisme pun dijumpai dan mekar dalam benih pikir Marx dan Freud. Bagi Marx, kepercayaan kepada Tuhan adalah akibat kebutuhan dasar manusia-miskin dan lapar, alias masalah ekonomi. Frustrasi dan kegaduhan yang lahir dari suasana miskin dan lapar ditekuk dengan agama. Dalam pendakuan Marx, angan-angan seperti itu bukannya mengubah keadaan, melainkan hanya memproduksi hiburan palsu laksana “candu”.

Senafas dengan Marx, Freud mengandaikan agama sebagai keadaan psikologis-tidak sehat, neurosis: jiwa yang menggelepar karena didorong oleh hasrat tak kunjung kesampaian akibat pelbagai larangan dan restriksi dalam kehidupan. Bagi Freud, agama lebih merupakan sublimasi yang terbit dari tekanan yang tak mampu dihadapi.

Ada sebilah pendakuan unik dari filsuf hermeneutik Paul Ricouer, perihal sikap “pengingkaran” seseorang terhadap agama dan Tuhan. Ricouer dalam Le Conflit des Interprétations (1969), mengandaikan “ateisme” sebagai tahap penting dalam perubahan kesadaran dari “penghayatan agama” (religion) ke “pengalaman iman” (foi). Ricouer memandang, baik Nietzsche, Marx, maupun Freud tidak bermaksud menolak agama atau melawan kepercayaan kepada Tuhan, melainkan mencurigai dan menyangsikan signifikansi agama: bahwa kaum agamawan tidak hidup secara autentik dengan keyakinannya itu.

Lebih jauh Ricouer berpandangan, sikap dasar ketiga tokoh ateis ini adalah “curiga” terhadap ketulusan agama atau kepercayaan kepada Tuhan. Bagi ketiganya, agama bukannya menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, melainkan justru berusaha berkelit dan menyembunyikannya. Bagi mereka, kenyataan dunia dan kehidupan ini buruk, pahit, dan menakutkan, sebab itu, manusia berusaha mengelabuinya dengan agama. Di titik ini, Ricouer menyebut Nietzsche, Marx, dan Freud sebagai “guru-guru pencuriga” (maitres de soupcon).

Tampaknya kehidupan beragama pada era disrupsi dikerkah krisis-akut menyusul gejala post-truth yang berujung pada dua paras. Pertama, pos-agama mengantarkan pada “ateisme” dan agnostik di mana orang-orang—terutama generasi muda—cenderung meninggalkan kehidupan agama tradisional dan menihilkan keberadaan Tuhan. Kedua, pos-agama menggiring kepada “ateisme praktis,” di mana orang-orang—meski mengaku masih beragama—tetapi tidak lagi “menghadirkan” Tuhan dalam detak jantung hidupnya sehingga—acapkali dengan “alasan” agama—mereka justru melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan anti kemanusiaan, sebagaimana tampak pada fenomena dan aksi terorisme belakangan ini. Kedua pengandaian di atas, jelas melongsorkan esensi agama.

Lalu, adakah ruang yang memungkinkan kita menghalau “gerhana Tuhan”? Tampaknya kita musti menggali, mereinvensi, dan menyelami makna-terdalam (inner meaning) hidup beragama yang autentik. Ada kebutuhan dasariah untuk menautkan antara penghayatan pesan teks-agama dan artikulasi sungguh-sungguh pemaknaan teologis-fenomenologis. Atau seperti didaku Levinas (2006), “Hendaknya mendahulukan pembacaan teologis-fenomenologis atas narasi-narasi Kitab Suci, ketimbang menganyam tafsir historis-semiotik atas teks,” yang acapkali justru menampilkan paras agama yang dingin, pucat pasi, tapi juga keras, gemuruh dan mengenggam amarah. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).