Festival International Panji (Inao) Indonesia 2018

Kastara.id, Denpasar – Konon menari adalah kesukacitaan. Sebuah persembahan sekaligus ekspresi estetik. Setidaknya inilah yang dirasakan dalam atmosfir pesta seni Festival Internasional Panji (Inao) Indonesia 2018.

Festival yang digelar Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali ini berlangsung di Gedung Ksirarnawa Art Center, Denpasar, Bali, Kamis (28/6) malam.

Alunan instrumen musik tradisional dari berbagai negara; Indonesia, Thailand, dan Kamboja, menjadi denyut nadi puspa ragam ekspresi, dan ritual seni tari yang tersaji.

Tiga grup kesenian yang tampil berhasil memukau publik pecinta seni. Diawali penampilan sanggar tari Bali Kakul Mas (Drama Tari Gambuh: Terbakarnya Hutan Trate Bang, kemudian disusul penampilan grup kesenian pimpinan Mr. Surapol Yongjor, ‘Inao-Inao Exiting The Cave’ (Inao-Inao Keluar Dari Gua), dan tari Inao, Classical Dance Inao, pimpinan Duk Sytha, dari Kamboja.

“Peran serta para seniman dari Indonesia, Thailand, dan Kamboja ini setidaknya akan menjadi rekonstruksi kreatif. Di tahun berikutnya, diharapkan akan lebih banyak lagi seniman dari berbagai negara yang berperan serta di Festival Panji,” ujar Edi Irawan, Kepala Sub Direktorat Seni Pertunjukan, Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, usai menyaksikan pertunjukan.

Sanggar tari Bali Kakul Mas tampil perdana dengan drama tari Gambuh. Gambuh merupakan drama tari tertua; klasik, bersumber dari lakon Panji. Dianggap paling tinggi mutunya, kaya dengan berbagai gerakan tari. Gambuh juga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali. Menggunakan laras Pelog Saih Pitu, drama tari Gambuh, diiringi seperangkat gamelan gambuh, dan beberapa jenis perkusi lainnya.

Sementara grup kesenian asal Thailand menampilkan tarian klasik yang kerap disebut Lakhon Nai berjudul ‘Inao-Inao Exiting The Cave’ (Inao-Inao Keluar Dari Goa). Melibatkan lebih dari 20 personil baik penari maupun pemusik.

Jenis drama tari ini berevolusi sesuai dengan tradisi kerajaan di dalam wilayah istana di Thailand. Dipercaya bahwa Lakhon Nai dikembangkan kembali di bawah perlindungan Raja Rama II pada awal abad ke-19.

‘Inao-Inao Exiting The Cave’ menggambarkan Inao dan Bussaba setelah jatuh cinta dan kawin lari. Mereka bersembunyi di gua, tetapi Inao harus meninggalkan Bussaba untuk menghadapi masalah. Inao mengendarai kuda ke Kerajaan Daha, ditemani oleh pengiringnya.

Delegasi kesenian Kamboja yang dipimpin Duk Sytha dan Prak Samrith, dengan tegas mengatakan bahwa lakon Inao (Panji) berasal dari Jawa. Roeurng Inav atau Roeurng Inav Bussaba, menjadi salah satu kisah favorit raja pada masanya di Kamboja.

Di tahun 1900-an hingga akhir 1940-an, sandiwara tari Inao sering ditampilkan di berbagai acara resmi kerajaan di Kamboja. Namun belakangan kurang dikenal sebab jarang dipergelarkan. “Guru tari kami mengacu pada kutipan ini sebagai “Pursuit of Peacock dari Yarann.” Gerakan penari atau Kbach berisi gerakan kaki yang luar biasa, dan disertai dengan nyanyian merdu,” ujar Prak Samrith menjelaskan.

Yang tak kalah menarik adalah gemerlap kostum yang dikenakan para penari dari ketiga negara ini. Kostum tidak hanya menguatkan karakteristik peran, melainkan mampu membangun nilai-nilai dramatik, yang berhasil memancing imajinasi penonton dan mengundang decak kagum.

Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro selaku inisiator festival ini mengatakan, kuatnya konsep tata busana yang ditampilkan dalam pertunjukan malam itu, mendorong sejumlah pengamat seni dan budaya yang menyaksikan, untuk menyoal tata busana ini ke ranah diskusi dan workshop ‘Seni Pertunjukan dan Panji.’ Workshop berlangsung di  Gedung Ksirarnawa, Art Center, Jumat (29/6).

Menampilkan narasumber Prof. Dr. I Made Bandem, MA, dan Prof. Dr. I Wayang Dibia, SST, MA, yang akan dipandu Dr. I Nyoman Astita, MA, dan Dr. I Komang Sudirga, M. Hum. (hero)