Keperawatan

Kastara.id, Jakarta – Profesi perawat di Indonesia memang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Untuk itu, Komite III DPD RI saat ini tengah fokus dalam membahas nasib para perawat di Indonesia khusunya di daerah-daerah. “Dalam masa sidang ini kami hanya fokus membahas perawat di tiga bulan terakhir ini. Persoalannya, di daerah-daerah lulusan dari sekolah perawat banyak yang tidak punya pekerjaan,” ucap Wakil Ketua Komite III DPD RI Delis Julkarson Hehi saat RDP terkait pengawasan atas pelaksanaan UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Jakarta, Rabu (29/11).

Ia tidak menampik bahwa memang ada juga lulusan keperawatan yang sudah bekerja sebagai perawat atau karyawan tetap di rumah sakit. Namun jumlahnya tergolong masih sedikit. “Lulusan keperawatan memang banyak namun jarang setelah lulus dia bekerja sebagai perawat,” ujar senator asal Sulawesi Tengah itu.

Delis juga menyoroti masalah biaya akreditasi yang justru membebankan. Apalagi adanya biaya dari rumah sakit bagi para mahasiswa yang ingin praktik. “Ini persoalan kita selama ini. Bahkan ada rumah sakit yang menjadikan lahan bisnis bagi perawat yang ingin praktik,” ujar dia.

Sementara itu, Anggota Komite III DPD Maria Goreti menambahkan bahwa UU No. 38 Tahun 2014 belum banyak yang mengetahui. Namun pada dasarnya UU ini bisa menambah semangat para perawat. “Sebelumnya, kami mendesak agar UU ini segera disahkan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Ia justru khawatir nantinya akan banyak yang meminta UU baik itu UU Farmasi dan lainnya,” beber dia.

Di kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) Muhammad Hadi menjelaskan sekarang ini lulusan keperawatan di Indonesia sudah mulai banyak. Bisa dikatakan lulusan perawat over namun serapan dari pemerintah 0 (nol). “Sektor swasta ada tapi tidak menggembirakan. Maka kami bertekad untuk bisa menyuplai ke luar negeri,” tegasnya.

Dirinya menilai kebutuhan jasa perawat di luar sangat tinggi. Namun perawat Indonesia belum bisa bersaing contohnya dari Filipina. “Saat ini kita baru mengirim ke Jepang karena proses seleksinya sangat rendah. Hanya 10 persen perguruan tinggi kita yang bisa bersaing. Hal itu terkendala dari SDM atau sarana prasarana. Terutama di daerah timur, sehingga tidak memiliki kesempatan,” papar Hadi.

Selain itu, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Vokasi Keperawatan Indonesia Yupi Supartini menambahkan bahwa peserta didiknya banyak yang berasal dari diploma keperawatan. “Namun kemampuan peserta didik kami dari diploma lebih rendah dibandingkan ners,” papar dia.

Yupi mengatakan banyak hal-hal yang beratkan bagi peserta didiknya yaitu biaya praktik di rumah sakit. Semua rumah sakit baik pemerintah dan swasta dikenakan biaya praktik.

“Di mana biaya tersebut untuk praktik dan menejemen. Sehingga hal itu membengkak maka memberatkan bagi peserta didik kita. Bahkan di rumah sakit pemerintah pembimbingnya hanya Spk. dan D3 atau setara dengan peserta kita. Harapan kami pembimbing harus sarjana,” terang Yupi. (npm)