Transgender(Human Rights Watch)

Oleh: Fadil Aulia

BEBERAPA hari belakangan publik dihebohkan dengan kasus penangkapan seorang transgender yang berinisial MC dalam kasus dugaan penyalahgunaan narkoba. Kasus ini semakin membuat publik heboh ketika transgender terduga penyalahguna narkoba tersebut ingin dilakukan penahanan oleh pihak kepolisian. Perdebatan mengenai MC ditempatkan pada sel tahanan mana terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ada yang berpendapat MC ditempatkan pada sel tahanan laki-laki, ada yang berpendapat ditempatkan pada sel tahanan perempuan dan ada juga yang mengatakan sebaiknya ditempatkan pada sel tahanan khusus. Perdebatan mengenai di mana MC seorang transgender di tahan pada dasarnya tidak terlepas dari upaya memberikan perlindungan terhadap MC sebagai transgender itu sendiri.

Setelah banyaknya perdebatan yang muncul di tengah masyarakat mengenai di mana MC sebaiknya ditahan, pihak kepolisian pada Polres Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya memutuskan untuk menempatkan MC pada sel tahanan laki-laki. Adapun dasar yang digunakan oleh pihak kepolisian untuk menempatkan MC pada sel tahanan laki-laki ialah karena jenis kelamin yang ada pada identitas (KTP) MC adalah laki-laki. Tidak berselang lama setelah diputuskan bahwa MC akan ditempatkan pada sel tahanan laki-laki, kritik pun mulai bermunculan, yang intinya menolak dan meminta agar MC yang merupakan transgender jangan ditempatkan pada sel tahanan laki-laki karena besar kemungkinan akan terjadinya pelecehan dan kekerasan terhadap MC sendiri sebagai seorang transgender. Karena banyaknya kritikan dan permintaan yang muncul, juga tidak berselang lama pihak kepolisian akhirnya memindahkan MC dengan menempatkannya pada sel tahanan khusus.

Sedikit melihat ke belakang, polemik mengenai di mana seorang transgender akan ditempatkan ketika melakukan tindak pidana pada dasarnya bukanlah merupakan hal yang pertama terjadi. Pada awal tahun 2020 polemik yang sama juga pernah terjadi yaitu pada kasus yang melibatkan seorang artis yang berinisial LL. Tidak jauh berbeda, setelah polemik yang panjang penahanan terhadap LL pun pada waktu itu akhirnya ditempatkan pada sel tahanan khusus.

Penahanan
Berdasarkan Pasal 21 KUHAP Penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Berangkat dari defenisi tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa setiap instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanandan penahanan hanya dilakukan dalam proses penegakan hukum masih berlangsung.

Mengenai penahanan sendiri, tidak semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari 5 tahun hanya dapat dilakukan penahanan dengan alasan-alasan tertentu.

Terkait penempatan tahanan, berdasarkan pasal 7 PP No.58 Tahun 1999 penempatan tahanan ditentukan berdasarkan penggolongan umur, jenis kelamin, jenis tindak pidana, di tingkat pemeriksaan perkara atau untuk kepentingan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.

Penahanan Transgender
Pengaturan mengenai penempatan tahanan berdasarkan jenis kelamin merupakan kunci dari perdebatan mengenai di mana transgender ditahan. Di Indonesia sendiri jenis kelamin hanya terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dan hal tersebut tentunya berdampak kepada jenis sel tahanan yang ada yaitu sel laki-laki dan sel perempuan. 

Mengenai perubahan jenis kelamin atau transgender sendiri pada dasarnya tidak ada aturan yang mengatur dan juga melarang hal tersebut untuk dilakukan. Hanya saja peraturan yang ada mengatur bahwa apabila terjadi perubahan jenis kelamin maka perubahan tersebut harus didaftarkan. Berangkat dari ketentuan ini, sebenarnya tidak akan ada permasalahan mengenai penempatan seorang transgender yang melakukan tindak pidana. Permasalahan muncul ketika seorang yang melakukan perubahan jenis kelamin tapi tidak mendaftarkan perubahan jenis kelamin tersebut. Sehingga ketika seseorang yang telah mengubah jenis kelaminnya tersebut melakukan tindak pidana maka akan muncul polemik di mana orang tersebut akan ditahan. 

Terhadap kasus MC sendiri misalnya, secara yuridis dan praktik yang terjadi selama ini memang tidak salah jika polisi sebagai penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan penahanan pada tingkat penyidikan menempatkan MC pada sel tahanan laki-laki karena polisi mendasarkan kepada jenis kelamin MC yang ada pada kartu idenititasnya yaitu laki-laki. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang Hak Asasi, pantas atau tidak pantas, layak atau tidak layak tentunya penempatan MC pada sel tahanan laki-laki menimbulkan banyak pertanyaan. Karena penempatan seseorang dengan fisik perempuan pada tahanan laki-laki tentunya akan rentan menimbulkan pelecehan dan bahkan kekerasan.

Formulasi mengenai penempatan terhadap seorang transgender yang tidak mendaftarkan atau mencatatkan perubahan jenis kelaminnya pada dasarnya belum ada pengaturannya di Indonesia. Dan selama pengaturan ini tidak ada, maka polisi, jaksa atau pun hakim secara yuridis sah-sah saja menempatkan seseorang itu pada tahanan berdasarkan jenis kelaminnya meskipun orang tersebut telah melakukan perubahan jenis kelamin.

Untuk jangka pendek penempatan seorang transgender yang tidak mendaftarkan perubahan jenis kelaminnya pada tahanan khusus memang tidak menjadi persoalan dan hal tersebut diperlukan untuk memberikan perlindungan. Seperti halnya apa yang dilakukan terhadap MC. Akan tetapi untuk jangka panjang tentunya hal tersebut akan bisa menjadi persoalan. Karena memang sekarang kasus seperti tersebut masih sedikit tapi ke depannya bisa jadi lebih banyak. Dan ketika kasus seperti itu banyak terjadi maka dari pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tentunya juga harus menyediakan sel tahanan khusus yang banyak.

Ke depannya, menurut saya terdapat dua hal yang harus diperjelas secara formulasi dan aplikasinya. Pertama, meskipun secara legalitas formal tidak terdapat formulasi yang memperbolehkan ataupun melarang transgender di Indonesia, akan tetapi berangkat dari ketentuan bahwa perubahan jenis kelamin harus didaftarkan maka pemerintah atau pengambil kebijakan harus memberikan tekanan lebih kepada siapa saja yang ingin melakukan perubahan jenis kelamin agar mendaftarkannya dan nantinya identitasnya bisa berubah. Karena jika hal semua orang yang melakukan perubahan jenis kelamin mendaftarkan perubahannya dan berujung kepada perubahan pada identitas diri maka ke depannya tentunya tidak akan terjadi lagi polemik di mana transgender akan dilakukan penahanan jika melakukan tindak pidana. 

Kedua, jika memang tidak dicatatkannya perubahan jenis kelamin adalah hal yang tidak bisa dihindari atau pemerintah tidak punya daya lebih untuk memberikan tekanan agar setiap orang yang melakukan perubahan jenis kelamin agar mencatatkan atau mendaftarkannya maka pengaturan akan sel tahanan khusus sangatlah diperlukan untuk menempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kejelasan status. Karena jika kondisinya seperti sekarang, penempatan hanya dilakukan berdasarkan diskresi yang dimiliki oleh kepolisian maka hal tersebut tentunya akan berdampak buruk kepada praktik hukum ke depan khususnya perlindungan yang diberikan terhadap transgender sebagai tersangka ataupun terdakwa. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada