Dialog Lintas Iman

Kastara.ID, Jakarta – Sesi kedua Dialog Lintas Iman yang digelar Kementerian Agama membahas tentang Beragama di Era Disrupsi. Dipandu Alisa Wahid dan Wahyu Muryadi, diskusi yang berlangsung di ruang terbuka Hotel Discovery Ancol Jakarta berjalan hingga larut malam.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga ikut larut dalam diskusi, bersama sejumlah pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama. Tampak hadir, Mahfud MD, Asep Zamzam Noor,  Fatin Hamama, Garin Nugroho, Haidar Baqir, Hartati Murdaya, Henriette G Lebang, Jadul Maula, Komaruddin Hidayat, Suhadi Sanjaya, Sujiwo Tedjo, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Uung Sendana, Wahyu Muryadi, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Alisa Wahid, Coki Pardede, Zaztrow, dan D Zawawi Imron.

Meski sebagian sudah sepuh (baca: tua), hembus angin laut di malam hari seakan tidak mengusik keseriusan mereka untuk berdiskusi.

“Dalam kehidupan ini, selalu ada disrupsi. Namun kenapa muncul di era sekarang?,” ungkap Haidar Baqir selaku pemantik acara diskusi, Jumat (28/12) malam.

Dijelaskan Haidar, sejak sekitar 1980-an, perubahan demi perubahan terus terjadi, namun berjalan relatif lebih senyap, pelan-pelan, dan subversif. Perkembangan teknologi informasi dan kehadiran sosial media lalu mengubah kondisi, diseminasi informasi berjalan lebih cepat.

“Ini yang menjadikan seperti adanya disrupsi,” kata Haidar. Bahkan, lanjut Haidar, sekarang modal terbesar perubahan dan kesuksesan, adalah informasi.

Dalam konteks seperti ini, Haidar memandang pentingnya menjadikan agama sebagai panduan spirit spiritual bagi manusia. “Jadikan Agama sebagai panduan spirit spiritual,” tegas Haidar.

Romo Magnis Suseno lebih melihat disrupsi secara hermeneutik. Menurutnya,  perubahan terus terjadi dan umat beragama dituntut dapat memberikan respons dengan melakukan pembaruan. Gereja Katolik misalnya, tidak boleh ketinggalan dalam melakukan pencerahan dan menjawab pertanyaan manusia modern.

Lain lagi dengan Ulil Abshar Abdalla. Dia lebih menyoroti masalah konservatisme. Menurutnya, konservatisme sebenarnya bukan sebuah masalah. Konservatisme akan menjadi persoalan,  manakala dimasuki kepentingan politik. Ulil mencontohkan tradisi belajar orang NU. Menurutnya, orang NU belajar Islam konservatif, keilmuan di pesantren juga konservatif. Namun, ajaran itu difilter dulu sebelum dipraktikkan di lapangan.

“Disrupsi konservatisme yang dibungkus dalam politik, ini masalahnya. Problemnya adalah ideologi,” kata Ulil.

John Titaley melihat bahwa kecenderungan beragama di Indonesia tidak terlepas dari tradisi kaum agraris. Menurutnya, disrupsi terjadi tidak lain karena terjadinya kekagetan manakala acuan tidak sama lagi dengan pandangan hidup.

“Apa yang menjadi nilai hakiki dalam agama di masa lalu, tidak bisa dikutip begitu saja. Sekarang keragaman menjadi yang hakiki. Masa lalu bukan menjadi simbol, bahasa yang (serta merta bisa) dikembangkan di zaman sekarang. Kita harus berfikir ulang tentang ekspresi kehidupan,” kata John Titaley.

Menurut Jhon Titaley saat ini yang dibutuhkan adalah religiusitas yang baru yang tidak agraris. Kalau tidak begitu umat beragama akan dimakan zaman. Apa bentuknya? John Titaley mengajak semua pihak untuk mencari dan merumuskannya.

“Sekarang tidak ada batas lagi dalam kehidupan. Agama harus stop pada individu, jangan dipaksakan untuk menyatukan keragaman. Mari kembali pada nilai-nilai agama,” tukas John Titaley.

Selaku budayawan, Zaztrow menyebutkan datangnya tsunami informasi yang membabi buta, mengepung semua sendi kehidupan manusia, membuat kegamangan pada setiap kalangan. Untuk itu, semua harus dihadapi dengan menggunakan medsos sebagai media pertarungan di zaman disrupsi ini.

Dari kalangan NU, Rumadi menyampaikan bahwa tokoh agama dalam tradisi keberagamaan berperan juga sebagai orang yang ngemong. Tokoh agama sebagai pengayom masyarakat ini muncul pada masyarakat tradisional. Semisal pada kalangan NU, tokoh agama bukan hanya mengajarkan beribadah, fiqih, tapi mereka juga ngemong masyarakatnya, menjadi panutan masyarakatnya.

“Kalau ini hilang (tradisi ri’ayah) akan digantikan tradisi disrupsi,” kata Rumadi.

Zakyuddin Baidlowy menuturukan, era Disrupsi merupakan anomali dalam keilmuan, dan itu sesuatu yang positif. Fase ini dibutuhkan agar paradigma berubah dalam kehidupan. Kemajuan Teknologi Iinformasi dan Komunikasi ini bisa menjadi pintu bagi perubahan, yang pada saatnya normal kembali.

“Dalam konteks bicara beragama dalam era disrupsi, maka agama dilihat bukan saja sebagai sumber keagamaan, namun sebagai sumber inspirasi dan kreasi kebudayaan. Disruspi bukan suatu yang negatif, namun menjadi peluang untuk menawarkan paradigma baru,” tandas Baidlowy.

Sementara Garin Nugroho memandang banyak orang sekarang yang kalah dalam selera. Faktanya, tradisi yang muncul adalah sesuatu yang instan, vulgar, dan sejenisnya. Garin melihat bahwa selera itu harus dibentuk dengan pendidikan.

“Persoalan kita, pada ruang publik kita kalah. Mengembangkan rating tidak dengan etik. Ini dibutuhkan strategi komunikasi yang mumpuni,” kata Garin Nugroho. (put)