Waktu

Oleh: Mohammad Sabri

AKHIR Tahun 2019. Dari malam tahun baru yang gaduh: di pusat-pusat kota, di hujan discount mal-mal, plaza-plaza, dan supermarket, di raung banal knalpot sekawanan gang motor, di gelegar terompet yang besahutan, di roket kembang api yang berhamburan, di panggung-panggung musik di ruas jalan raya yang ditutup, di aroma minuman pesta mewah di hotel-hotel, di ledakan mercon yang memekak telinga; apa sejatinya yang hendak mereka permaklumkan? Jawabnya—waktu  yang tengah mengalir—musti  ada momen yang menghalaunya: dengan tanda, jejak, tapi juga glamour.

Akhir Tahun 2020. Gerak dan nafas waktu melumat kehidupan, mereposisi arah, bahkan menekuk sejumlah realitas. Gelombang pandemi Covid-19, seolah meciptakan arus balik: bayang-bayang kematian selalu hadir berkelebat dan kegaduhan malam tahun baru berubah menjadi kesenyapan. Erangan terompet dan letupan mercon lamat-lamat musnah dalam rinai hujan yang meranggas. Kerumunan dalam gelegar riuh gempita lenyap dalam “penjarakan sosial” yang meniscayakan penguatan individuasi dan takluk pada protap kesehatan. Semua mengalir pradah, tanpa gegap, tanpa hiruk-pikuk.

Dalam kehidupan ultra modern, waktu diandaikan secara kuantitatif: tak boleh ada kebocoran sedikitpun. Di balik selubung teknologi digital dalam wujud aneka gadget, orang kemudian melakukan sejumlah pekerjaan secara simultan (multitask) yang menuntut kecepatan, ketergesaan, kebergegasan (quickness) sebagai simpul emas etos modernitas.

Kelambatan dan kelambanan (slowness), sebab itu, diletakkan sebagai oposisi dari modernitas dan dipandang tak berdamai dengan semangat zaman (zeit geist) yang serba cepat, instan, serentak dan disokong teknologi informasi yang membikin dunia homogen, flat, tipis, dingin, dan rata.

Orang kini kehilangan ritme, jeda, senggang dan memandang waktu sepenuhnya bergerak linear. Kesadaran waktu sebagai sesuatu yang siklis—seperti  tertanam dalam jantung kearifan, telaga budi, dan samudra tradisi antik—menguap dalam kesadaran manusia modern yang meletakkan rasio sebagai kebenaran puncak dan mengabaikan ruang intuisi-eksistensial-fenomenologik.

Buah permenungan filsuf Henri Bergson dalam Introduction to Metaphysics, bahkan telah memosisikan intuisi sebagai “insting yang tercerdaskan”. Ketika rasio mengalami kebuntuan—begitu  Bergson mengandaikan—intuisi  justru tampil sebagai visun yang mencerahkan dan mengurai kekusutan. Mengapa rasio gagal mengonstruk kesadaran substansial? Karena rasio, dalam pendakuan Bergson, cenderung meruang-ruangkan (spatialize) obyeknya—“ruang” maupun “waktu”—sebagai satuan-satuan homogen: kilometer, hektometer, dekameter, sentimeter, milimeter untuk satuan “ruang” dan millineum, abad, windu, tahun, bulan, hari, jam, menit, detik bagi satuan “waktu”. Pada hal, secara ontologis, waktu dan ruang adalah satu. Di sini, rasio mengandaikan manusia “berjarak” (distinctive) dengan ruang-waktunya.

Berbeda halnya dengan rasio, status ontologis pengalaman intuisi-eksistensial-fenomenologik justru “menyatu” (unitive) dan swa-obyektif dalam kesadaran subyek, sehingga ia mengalami apa yang disebut Bergson sebagai “perlangsungan murni” (pure duration). Karena itu, pengalaman intuitif-eksistensial-fenomenologik tentang ruang-waktu, bukanlah pengalaman seperti yang dikonsepsikan rasio, tapi pengalaman yang dirasakan dan dialami langsung (direct experience) sang subyek.

Malam tahun baru adalah puncak hitungan waktu secara kuantitatif, yang menihilkan kesadaran intuitif-eksistensial-fenomenologik. Karena dominasi kesadaran rasio yang spatialize dan serba cepatorang kemudian teralienasi dan terisolasi dari “kesunyataan” yang tersimpan rapi dalam pualam kesenyapan, kesunyian, kelambanan, keheningan, subyektivitas, dan individuasi. Orang cenderung “terlempar” dan meninggalkan diri dan rumahnya yang autentik: menuju villa di puncak, motel-motel, hotel berintang, kawasan pelesiran, dan tempat-tempat yang memantik keriangan artfisial yang bergerak cepat laksana bayu. Tak ada lagi ruang dan waktu untuk permenungan, kesahajaan, refleksi, tadabbur, tafakur, dzikr.

Pada sunyi-senyap yang sempurna, pada keteduhan bintang dan bulan yang tersenyum, ada suara yang bukan bunyi, ada huruf yang bukan aksara, menjalar dan menggema dalam bilik jantungku yang paling asing:

Demi Waktu. Sungguh manusia akan dilimbur kerugian.
Kecuali mereka yang beriman dan memproduksi kebajikan.
Dan yang saling membentangkan pesan kebenaran.
Dan yang saling melebarkan nasihat kesabaran. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).