Perhitungan Suara

Oleh: Anthony Budiawan

PERHITUNGAN suara di Situng (Sistem Informasi Perhitungan Suara) KPU per 29 April, pukul 23:15, masih menunjukkan kemenangan untuk Jokowi dengan selisih perolehan suara masih terjaga sekitar data hasil Quick Count 17 April yang lalu: Jokowi memperoleh 56,21 persen dan Prabowo memperoleh 43,78 persen. Pola perhitungan suara KPU sejauh ini masih tertata rapi mengikuti hasil Quick Count yang memenangkan Jokowi sekitar 54 persen. Kemenangan Jokowi sejauh ini malah lebih besar dari hasil Quick Count.

Kalau diperhatikan lebih detil, pola perhitungan KPU terlihat sangat jelas manipulatif dengan memasukkan data TPS yang dimenangi Jokowi lebih awal dan lebih banyak dari TPS lainnya sehingga dapat menghasilkan persentase perolehan yang diinginkan sekitar 46 persen. Pola perhitungan seperti ini sepertinya (atau pastinya?) ingin memberi impresi kepada masyarakat bahwa Jokowi telah memenangi Pilpres ini. Terutama mengingat data TPS yang sudah diinput sudah mencapai sekitar 53 persen. Di lain pihak, pola perhitungan manipulatif ini juga bertujuan untuk membuat mental pendukung Prabowo jatuh hancur lebur sehingga tidak ada spirit berjuang lagi.

Untuk itu, pendukung Prabowo harus tetap waspada penuh dan jangan terkecoh permainan perang urat syaraf yang dikenal dengan PSYWAR atau PSYOP, yaitu memengaruhi pikiran masyarakat bahwa data yang disajikan adalah benar.

Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa hasil perhitungan suara di KPU jauh dari konklusif. Pertama, kesalahan input data yang selalu menguntungkan Jokowi masih sering terjadi. Kalau benar Jokowi sudah menang, seharusnya kesalahan input tidak terjadi lagi karena KPU tidak ingin mencemari kemenangan paslon nomor urut 01 tersebut. Kesalahan input masih terjadi dapat dicurigai bahwa kemenangan Jokowi adalah semu, dan PSYWAR dijalankan agar mental masyarakat dan pendukung Prabowo hancur sehingga tidak waspada dalam mendeteksi kesalahan-kesalahan input tersebut. Kalau ini benar terjadi maka bukan mustahil bahwa penambahan perolehan suara paslon 01 akibat kesalahan-kesalahan input menjadi realita tanpa ada yang mengawasi.

Kedua, ambil contoh Provinsi Bengkulu. Menurut hasil Quick Count dari salah satu lembaga survei, Jokowi menang telak di Bengkulu dengan perolehan suara 58,78 persen, dan Prabowo hanya dapat 41,22 persen. Faktanya, berdasarkan perhitungan di Situng KPU yang sudah mencapai 100 persen, Prabowo malah menang dengan memperoleh suara 50,13 persen. Di sini dapat dilihat sangat jelas bahwa doktrin Quick Count selalu benar tidak lagi berlaku pada pilpres ini. Bengkulu adalah contoh nyata.

Selanjutnya, meskipun total suara yang sudah masuk dan diinput mencapai 53 persen, dan perolehan suara Jokowi mencapai 56 persen, tidak berarti secara otomatis Jokowi sudah menang. Untuk itu mari lihat ilustrasi di tabel 1 yang memuat data Provinsi Bengkulu. Dalam hal ini, total suara (DPT) Bengkulu ada 1.168.147. Anggap saja untuk perhitungan sesi pertama hingga 53 persen, atau 619.118 suara, Jokowi memperoleh kemenangan besar dengan 359.088 suara, atau 58 persen, dan Prabowo 260.030 suara, atau hanya 42 persen.

Sampai titik ini, menurut PSYWAR, Jokowi kelihatannya akan memenangi Bengkulu dengan selisih kemenangan yang sangat besar, yaitu 16 persen. Tetapi, apa yang terjadi selanjutnya? Untuk input data sesi 2 yang tersisa 47 persen, atau 549.029 suara, ternyata Prabowo memperoleh 325.553 suara, atau 59,3 persen, dan Jokowi hanya memperoleh 223.476 suara atau 40,7 persen saja, sehingga secara total Prabowo menang dengan 50,13 persen. Hal ini bisa terjadi karena kantong-kantong suara yang memenangi Jokowi sudah diinput terlebih dahulu. Dan yang tersisa untuk diinput di sesi 2 adalah kantong-kantong suara Prabowo, sehingga akan menang dengan selisih yang besar juga, bahkan lebih besar dari selisih perhitungan suara sesi 1. Lihat tabel 1.

Tabel 1: Ilustrasi Input Data Bengkulu Dengan Dua Sesi 

Logika pola input data versi Bengkulu juga dapat terjadi di tingkat nasional. Pertama, per provinsi, pola input data yang memenangi Jokowi diinput terlebih dahulu di sesi awal sehingga Jokowi menang besar di propinsi tersebut. Misalnya Jawa Timur yang sementara ini dimenangi Jokowi dengan perolehan suara 66,88 persen. Kedua, antar provinsi, pola input data untuk propinsi yang menjadi kantong suara Jokowi dimaksimalkan terlebih dahulu, seperti Jawa Tengah yang sudah mencapai 63,6 persen. Sedangkan input data untuk kantong suara Prabowo diperlambat, seperti Jawa Barat yang baru mencapai 32,3 persen, Banten 47,8 persen, Jawa Timur 35,9 persen, Jakarta 44,9 persen, dan semua ini jauh tertinggal dari input data di Jawa Tengah.

Oleh karena itu, perhitungan suara masih panjang, apalagi kalau pola perhitungan seperti ini mau dipertahankan terus. Progress akan sangat lambat, dan sebaiknya siap siaga dengan PSYWAR. Kalau masyarakat dapat bertahan menghadapi PSYWAR ini dengan baik, tetap waspada atas kesalahan-kesalahan input, maka lambat laun pihak lawan akan panik dan akan semakin banyak membuat kesalahan.

Semoga demokrasi dapat ditegakkan, dan selalu waspada! (*)

*Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)