Baliho

Oleh: M. Nigara

SENIN (29/4) malam, ratusan polisi akhirnya meninggalkan Komplek Perumahan Limus Pratama, Cileungsi, Bekasi. Ratusan warga sekitar perumahan itu bersorak. Ketegangan untuk sementara berakhir.

“Tuuuugasmu mengayomi, tuuuugasmu mengayomi, pak polisi, pak polisi jangan ikut kompetisi!” begitu rakyat atau warga Cileungsi, khususnya warga perumahan Limus Pratama, mengiringi ratusan polisi dengan belasan mobil yang meninggalkan tempat.

Lagu itu awalnya biasa dinyanyikan di stadion sepakbola untuk menyindir PS Bhayangkara, diyakini dimiliki institusi kepolisian. Bhayangkara FC adalah jelmaan Persebaya, yang ikut kompetisi Liga Satu PSSI. Hal ini terjadi karena saat itu PSSI yang sah tidak diakui penerintah. Lalu, untuk memudahkan segalanya, kepolisian dan TNI kala itu sama-sama masuk ke organisasi olahraga tertua di tanah air. Polisi mengambil alih Persebaya dan TNI mengambil Raja Ampat FC. Tidak jelas benar apakah institusi atau hanya oknum, yang pasti kedua klub itu akhirnya eksis di liga satu PSSI.

Beladiri warga
Ketegangan diawali setelah warga Limus Pratama menaikan super baliho ukuran sekitar 12 x 6 meter persegi. Isinya adalah ucapan terima kasih untuk warga Cileungsi yang telah mendukung Prabowo-Sandi. Baliho dan spanduk model seperti itu sesungguhnya bukan yang pertama, di banyak tempat baik di Jakarta maupun di daerah, sudah bermunculan. Bahkan ada spanduk dan baliho yang isinya justru lebih tegas: Mengucapkan Selamat atas terpilihnya Prabowo-Sandi.

Baliho serupa juga dilakukan kubu sebelah. Tapi, seperti kita ketahui, baliho kubu tetangga aman-aman saja. Malah kasat mata, baliho kubu sebelah justru dijaga.

Orang memang terkesiap dengan baliho yang berdiri di Cileungsi. Ukurannya sangat menohok, ya, super besar.

Yang kemudian jadi pertanyaan, mengapa kok polisi sampai sedemikian perlunya saling berhadapan dengan rakyat Cileungsi? Jika kita cermati dengan hati bersih, pikiran tenang, tidak ada yang perlu dijadikan persoalan. Apa artinya sebuah spanduk? Spanduk tidak akan bisa mengubah hasil pilpres bukan?

Apalagi, pihak pemerintah, KPU, dan Bawaslu meyakini bahwa tidak ada kecurangan. Jadi, untuk apa ratusan polisi datang dan harus berhadapan dengan rakyat? Lalu, apa pentingnya polisi ingin menurunkan spanduk raksasa itu?

Atau, ada kekhawatiran tertentu hingga jalan yang kurang indah itu terpaksa dilakukan polisi? Atau, jangan-jangan video-video yang tersebar di medsos selama ini tentang kecurangan itu, benar-benar sudah terstruktur, sistematis, dan masif? Atau, aparat kepolisian memang sudah ikutan berkompetisi?

Apa yang kita saksikan melalui medsos –maklum, media mainstream koran, majalah, online, radio, dan televisi tidak lagi mau memberitakan segala sesuatu dari rakyat yang tidak seirama dengan paslon tertentu– semua terlihat jelas sebagai perlawanan rakyat Cileungsi.

Di Madura, perlawanan atas kecurangan, paling tidak kasat mata dianggap curang, juga terlihat. Rakyat berulang kali menangkap orang-orang yang berusaha melarikan C-1. Semua terlihat jelas di medsos. Rakyat tidak butuh lagi media resmi. Rakyat tahu, mereka bukan lagi para pembela kebenaran, mereka bahkan semakin memperlihatkan posisinya jauh dari rakyat. Jadi, jika pola-pola yang dilakukan para petugas tidak juga berubah, maka bukan tidak mungkin kasus 1966 dan 1998 bisa terulang. Tentu kita berharap hal seperti itu tak boleh terjadi lagi.

Untukmu saudaraku
Saudaraku para polisi Republik Indonesia. Kita ini adalah bagian yang sama, sama-sama warga Republik Indonesia. Kita ini hidup di alam yang sama, di tempat yang sama. Bahkan tidak sedikit rakyat yang sedang berjuang untuk membuktikan pemilu dan pilpres kali ini tidak jujur dan tidak adil, adalah saudara kandungmu, kakak atau adikmu. Ayah atau ibumu. Guru atau sahabat-sahabatmu. Ustadz dan orang-orang yang engkau hormati. Jadi, janganlah kalian sevulgar itu. Membawa segala peralatan perang seolah-olah kami adalah musuh.

Saudaraku polisi, kami tahu tugasmu sangat berat. Tapi, engkau pun tahu beban kami juga sangat berat. Kami paham engkau punya garis komando, tapi yakinlah garis komando kami pada Sang Khalik tak akan tergoyahkan.

Saudaraku polisi, kepada kami, engkau bisa sembunyi, engkau bisa mencuci tangan bersih-bersih. Tapi, kepada Allah, kalian tidak akan mampu sembunyi. Allah tahu apa yang engkau lakulan, dan tentu Allah juga tahu yang kami lakukan.

Saudaraku polisi, kita akan sama-sama berpulang kepada Allah yang sama, jika waktunya tiba. Jangan lupa, kita akan saling bersaksi. Saat di mana tidak seorang pun bisa membela kita, membelamu dan membelaku. Bahkan komandanmu, semua tidak bisa membela siapa pun.

Bahkan, kaki, tangan, lisan, pendengaran, dan penglihatan kita sendiri akan bersaksi untuk diri kita. Siapa pun engkau, Inspektur dua atau jendral berbintang empat sekali pun, tak bisa mengelak dari kesaksian. Kita, engkau dan aku, akan menanggung semuanya sendirian. Siksa atau pahala, tak akan tertukar.

Saudaraku para polisi, mumpung kita masih diberi waktu, mengapa tidak kita siapkan kepulangan kita ke kampung abadi? Ya, mumpung kita masih diberi waktu.

Saudaraku polisi rakyat Indonesia, engkau pasti mendengar istilah suara rakyat adalah suara Tuhan. Masihkah engkau tidak menyadari bahwa perlawanan rakyat Cilengsi bukan perlawanan biasa? Yakinlah, suara rakyat Cileungsi adalah suara Tuhan.

Ya, tak ada sesuatu yang terjadi di bumi tanpa izin Allah. Allah selalu bersama dengan rakyat banyak. Apalagi jika rakyat yang terdzolimi berdoa dan memohon pertolongan-Nya.

Saatnya kita berdoa agar ridha Allah menyertai kita. Dan, semoga ada kedamaian di hati kita, di hatimu, dan tentu di hatiku. (*)

*Wartawan Senior