Sanggar Amak Alam
Oleh: Jaya Suprana

Pembelajar Kebudayaan dan Peradaban

SAYA kurang sreg dengan apa yang disebut sebagai kurikulum. Tidak ada insan manusia sama dan sebangun dengan insan manusia lain-lainnya maka terasa kurang senonoh apabila manusia dipaksakan seragam satu dengan lain-lainnya.

Kurikulum adalah ciptaan manusia sementara manusia adalah ciptaan Tuhan maka kurang senonoh pula apabila ciptaan Tuhan dipaksakan untuk tunduk pada ciptaan manusia. Namun industri pendidikan sudah terlanjur dihadirkan untuk melayani kebutuhan massal maka produk pendidikan juga terlanjur dimassalkan dengan berbagai penyeragaman termasuk kurikulum yang bahkan dinasionalkan.

Akibat pengindustrian pendidikan seorang siswa di pedalaman Papua diseragamkan dengan seorang siswa di Aceh, meski sebenarnya saling beda kebutuhan pendidikan akibat perbedaan lingkungan alam mau pun kebudayaan. Tidak ada upaya memanusiakan pendidikan.

Sayang, saya pribadi hanya terbatas cuma menggerutu belaka tanpa berani mewujudkan upaya memanusiakan pendidikan menjadi kenyataan.

SALAM
Syukur Alhamdullilah, di Yogyakarta ada seorang perempuan jauh lebih perkasa ketimbang saya yang katanya lelaki ini. Sri Wahyaningsih tidak cuma menggerutu seperti saya namun perkasa mewujudkan perlawanan terhadap industrialisasi pendidikan dengan mendirikan Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta yang praktis tidak memiliki kurikulum yang menyeragamkan pendidikan.

SALAM memanusiakan pendidikan dengan mendekatkan manusia ke realita kehidupan serta lingkungan alam dan kehidupan.

SALAM memerdekakan para siswanya untuk melakukan riset sebagai pembelajaran bagi diri masing-masing yang memang saling beda satu dengan lain-lainnya.

Beda
Sekolah yang didirikan Sri Wahyaningsih pada tahun 2000 di tengah area persawahan di daerah Nitiprayan, Yogyakarta, membalik tatanan pendidikan yang selama ini kita tahu.

SALAM beda sukma dengan sekolah yang lazim kita jumpai di segenap pelosok planet bumi masa kini. Jika di sekolah formal, tiap semester anak-anak wajib mengikuti 8-10 mata pelajaran yang sudah ditentukan oleh Kemendikbud, di SALAM mereka memilih sendiri topik riset mereka. Misalnya si Didi meminati jamu maka dia melakukan riset tentang jamu. Ia harus belajar juga soal jenis tanaman jamu, cara bertanam, jenis penyakit dan metode pengobatan, industri obat-obatan, bahkan soal roda ekonomi yang bergulir di isu soal jamu. Dari satu topik, pengetahuan meluas ke berbagai macam hal.

Dengan metode memanusiakan pendidikan, pengetahuan yang muncul adalah pengetahuan yang benar-benar dibutuhkan oleh siswa. Tak akan ada pertanyaan galau “Kemaren itu susah-susah belajar fisika gunanya buat apa ya?” atau “Ujian matematika disuruh ngitung ribet banget, padahal tiap hari yang kepakai gini doang?” Sampai sekarang saya belum menemukan manfaat saya dipaksa belajar goniometeri.

Menurut Wahya, dengan riset, anak-anak memiliki pemikiran kritis dan pemikiran solusif. Karena mereka memilih sendiri topiknya, jadi tidak ada pengetahuan yang dipaksakan. Bahkan banyak dari mereka yang sudah punya penghasilan sendiri, karena tak jarang produk hasil riset mereka bisa langsung dijual. SALAM juga punya kegiatan bernama Pasar Legi dan Pasar Ekspresi di mana siswa-siswanya boleh menjual produk hasil buatan mereka sendiri.

Pemanusiaan
Kesadaran Sri Wahyaningsih tentang pemanusiaan pendidikan pertama kali muncul saat  mengikuti kegiatan Romo Mangun (YB Mangunwijaya) di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Romo Mangun melakukan cara pembelajaran seiring-setujuan dengan Jean Jacques Rousseau pada abad XVIII di Prancis.

Sebagai pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan, saya sangat mengagumi, menghargai, dan menghormati prakarsa Sri Wahyaningsih mendirikan SALAM.

Tidak ada manusia yang sempurna maka tidak ada karsa dan karya manusia termasuk pendidikan yang sempurna. Maka upaya pemanusiaan pendidikan juga tidak sempurna sama halnya dengan ketidak-sempurnaan penyeragaman pendidikan apalagi industrialisasi pendidikan yang sudah terbukti penuh bopeng-bopeng ketidak-sempurnaan.

Insha Allah, ketimbang saling mengkritik, mencemooh, dan menghujat, jelas lebih produktif dan konstruktif apabila ikhtiar memanusiakan pendidikan dan sistem industrialisasi pendidikan mau pun sistem pendidikan apa pun juga justru saling mengerti, menghormati, menghargai demi saling menyempurnakan diri masing-masing dengan saling belajar satu dengan lain-lainnya. (*)

*Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan