Kastara.id, Banda Aceh – Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki ragam seni dan budaya yang sangat kaya. Selama ratusan tahun seni dan budaya terus berkembang dalam kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah ini. Meski perang dan konflik pernah melanda Aceh, tapi aktivitas seni tidak pernah padam.

Hal itu disampaikan Sekretaris Daerah Aceh Dermawan saat membacakan sambutan tertulis Gubernur Aceh Zaini Abdullah, pada pembukaan Aceh International Rapa’i Festival yang dipusatkan di Taman Ratu Syafiatuddin, pekan lalu (26/8).

“Para seniman dan budayawan Aceh kerap menjadikan isu sosial sebagai tema dalam karya-karya mereka. Karena itu jangan heran jika di Aceh banyak tarian dan nyanyian yang menggambarkan tentang perang dan kehidupan sehari-hari,” kata Dermawan.

Tarian dan nyanyian Aceh biasanya dimainkan dengan menggunakan alat musik tradisional. Salah satu alat musik khas Aceh adalah Rapa’i, sejenis perkusi yang berkembang sejak masuknya Islam ke daerah berjuluk Serambi Mekah ini pada abad ke-9.

Disebut rapa’i, sebab alat musik gendang ini diperkenalkan oleh seorang ulama bernama Syech Rapa’i. Sejak saat itu, Rapa’i menjadi identitas dan bagian yang tak terpisahkan dari budaya di Aceh.

Seiring perjalanan waktu dan dinamika yang terjadi di Aceh, seni Rapa’i mengalami banyak perkembangan dan model, antara lain ada yang disebut Rapa’i Pase, Rapa’i Aneuk, Rapa’i Daboih, Rapa’i Geleng, Rapa’i Grimpheng, dan sebagainya.

“Sebagai bagian dari identitas Aceh, kami berkeinginan untuk mendekatkan masyarakat dunia kepada alat musik ini. Karena itu mulai malam ini hingga empat hari ke depan, akan diselenggarakan Aceh International Rapa’i Festival yang diikuti sejumlah seniman perkusi ternama di tingkat nasional dan internasional. Kami berharap festival ini tidak hanya mampu menghibur masyarakat, tapi dapat pula mendorong kita untuk semakin mencintai seni budaya bangsa,” ujar Dermawan.

Dalam kesempatan tersebut Dermawan juga mengungkapkan, sebagai daerah yang menjalankan Syariat Islam, Aceh ingin memperkenalkan diri sebagai ‘World’s Best Halal Cultural Destination’ kepada dunia internasional.

“Kami juga akan mensosialisasikan branding wisata Aceh dengan tagline ‘The Light of Aceh’ atau ‘Cahaya Aceh’. Branding ini menjadi refleksi bagi Aceh dalam memperkenalkan Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘alamiin. Untuk menjadikan Aceh sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia, maka peran seniman, pelaku usaha wisata, dan seluruh elemen masyarakat sangatlah dibutuhkan,” kata Dermawan.

Sekda berharap, dengan diselenggarakannya festival ini, maka target peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Aceh dari tahun ke tahun terus bertambah. “Dengan penyelenggaraan festival rapa’i internasional ini, kita tentu saja berharap dapat membuktikan kepada dunia betapa indahnya Islam, betapa syahdunya musik tradisional Aceh, dan betapa bangganya rakyat Aceh dengan perdamaian yang telah bersemi di daerah ini.” (nad)