Kastara.id, Jakarta – Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengusulkan draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan memasukkan pasal tentang kewajiban pemerintah daerah atau perusahaan tempat pelaku bekerja untuk memenuhi restitusi atau ganti rugi. Hal ini terungkap dalam kegiatan finalisasi RUU PKS yang dilakukan Komite III DPD RI dengan Tim Ahli RUU PKS di Ruang Rapat Komite III DPD RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/8).

Anggota DPD RI asal Bengkulu Enny Khairani mengatakan, dirinya sepakat dengan pasal 48 ayat 4 dari RUU PKS yang menyatakan bahwa jika terdakwa pelaku kekerasan seksual tidak memiliki harta benda untuk disita, maka pemerintah daerah atau perusahaan berkewajiban untuk melaksanakan talangan restitusi.

Menurutnya, perusahaan atau instansi tempat pelaku bekerja memiliki kewajiban untuk membina karyawannya sehingga tidak semena-mena melakukan perbuatan amoral. Jika dikemudian hari, karyawan melakukan perbuatan amoral, maka perusahaan harus ikut bertanggung jawab karena gagal membina moral dari karyawannya.

Namun, tambah Enny, pasal yang ada belum secara tegas mengatur sanksi bagi instansi bagi perusahaan yang tidak mau memenuhi kewajibannya dalam melaksanakan putusan restitusi.

“Silakan saja memberikan kewajiban kepada perusahaan, tapi jika ingkar bagaimana harus ada satu poin yang lebih menjelaskan sanksi bagi yang melanggar. Kalau dibebankan ke pemerintah daerah jelas anggaran dan sistemnya tapi kalo perusahaan kan susah harus ada kejelasan,” kata Enny.

Menanggapi hal itu, tim ahli RUU PKS dari Komnas Perempuan Emma Mucharomah mengatakan RUU PKS disusun selangkah lebih maju dengan memasukkan pasal tentang kewajiban perusahaan atau instansi untuk memberikan pendidikan moral kepada pekerjanya. Di sisi lain, memang dibutuhkan pasal yang secara tegas memastikan tanggung jawab perusahaan terhadap talangan restitusi jika pelaku kekerasan seksual tidak memiliki harta benda untuk disita.

“Jadi untuk memastikan tanggung jawab perusahaan memang harus diberi dua kewajiban yakni untuk ikut melakukan langkah pencegahan dan juga ikut bertanggung jawab ketika pekerjanya menjadi terdakwa dalam perbuatan kekerasan seksual,” ujar Emma.

Senada dengan Emma, tim ahli PKS lainnya, Fachrurozi mengatakan, penambahan pasal yang melibatkan perusahaan untuk ikut membayar talangan restitusi adalah karena adanya masukan dari kepolisian dan kejaksaan yang kesulitan untuk melakukan eksekusi atas putusan majelis hakim, dikarenakan terdakwa tidak memiliki harta benda untuk disita.

Sementara itu, anggota Komite III DPD RI asal Kalimantan Barat Maria Goretti menilai perlu adanya tambahan pasal tentang pemberian sanksi bagi pihak keluarga yang menghentikan perkara di tengah jalan.

“Beberapa kasus yang ada selama ini, keluarga ditengah jalan menghentikan perkara karena malu dengan tetangga atau kerabatnya. Ini harus diantisipasi, ke depan tidak boleh lagi ada kejadian seperti ini,” ujarnya.

Selain itu, Maria juga berharap kalimat extraordinary crime dapat dimasukkan dalam RUU ini supaya ada unsur keseriusan dalam penangganan kekerasan seksual.

“Banyak pihak yang pesimis dengan RUU ini, untuk itu saya berfikir apakah memungkinkan untuk memasukkan kalimat extraordinary crime dalam penyusunannya, tidak hanya sekedar jargon seperti yang selama ini digaung-gaungkan,” katanya.

Lebih lanjut, ia berharap RUU PKS dapat segera dirampungkan dan diserahkan kepada DPR RI. “RUU ini bernafaskan DPD RI dan mampu memberikan perlindungan jangka panjang. Untuk itu, kami berharap saudara tua kami tidak menolak keberadaan RUU ini,” ujarnya. (rya)