Oleh: Muhammad AS Hikam

CEKAKNYA kocek paslon nomor 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, untuk menghadapi laga Pilpres 2019 melawan paslon petahana 01, Jokowi-Ma’ruf Amin, meniscayakan strategi akternatif yang bisa menambal kelemahan tersebut. Selain mencoba menarik sumbangan dari publik, paslon ini juga (dan makin banyak) menggeber strategi retorika politik.

Dengan memanfaatkan rentannya publik terhadap isu-isu ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, dan hutang yang membumbung tinggi, ditambah suntikan psikologis dari sentimen identitas dan maraknya tren populisme serta anti-asing, paslon 02 cukup sukses dalam strategi menggeber retorik ini. Bukan tak berarti paslon 01 tak memanfaatkan strategi retorik yang sama, namun volume dan frekuensinya jelas kalah jauh.

Pertanyaannya, apakah strategi retorik yang cenderung membawa dampak negatif, berupa kegaduhan dan terganggunya kohesivitas sosial serta instabilitas politik, akan mampu mengantar paslon 02 menjadi penghuni Istana pada 2019 nanti? Mengaca pada berbagai kisah sukses di AS dan Brazilia, para pendukung strategi ini akan mengiyakan.

Namun harap diingat dan dipikirkan, Indonesia bukan AS ataupun Brazilia. Di negara yang disebut pertama itu, selain demokrasinya telah berusia panjang (lebih dari dua abad), juga memiliki masyarakat sipil yang mampu mengontrol secara efektif penguasanya. Kegaduhan yang terjadi pada elit, bahkan yang berisiko mengancam stabilitas ekonomi dan politik (seperti yang diakibatkan oleh Pemerintahan Trump saat ini), cenderung bisa dikendalikan dan diseimbangkan melalui sistem dan aktivisme warga negara.

Akan halnya Brazilia, negara terbesar di Amerika Latin tersebut terus-menerus akan terombang ambing dalam pergelutan rezim otoriter dan upaya menegakkan demokrasi. Brazil kendati punya sejarah panjang sebagai negara merdeka, tetapi juga punya sejarah tragis dalam soal rezim militer yang menindas.

Strategi pemenangan kontestasi Pilpres yang langka dengan platform politik tetapi sarat dengan retorik memang akan hingar bingar. Publik akan mudah terpesona akan janji-janji dan bersemangat mencerca berbagai kelemahan dan kekurangan rezim yang sedang berkuasa. Tetapi setelah pesta demokrasi selesai, apakah ada jaminan bahwa semua bengkalai akan bisa dirapikan dengan retorika?

Saya kira paslon 02 belum terlambat untuk mulai bicara tentang platform politiknya untuk bisa dibanding dengan milik lawannya. Dan paslon 01 juga tak perlu mengimbangi retorika dengan retorika berbusa-busa. (*)