Oleh: Ena Nurjanah

SATU minggu sudah kejadian bencana Tsunami Selat Sunda yang menimpa Provinsi Banten dan Lampung, namun masih banyak para korban yang belum tersentuh dengan akses bantuan. Sulitnya medan untuk menjangkau wilayah terdampak bencana menjadi salah satu alasan mengapa banyak korban yang belum mendapatkan bantuan.

Infrastruktur yang buruk selalu dijadikan alasan bagi penerintahan setempat maupun pusat untuk menyatakan betapa sulitnya penanganan terhadap korban. Padahal seharusnya pemerintah menyadari bahwa kondisi tersebut tidak lepas dari abainya pemerintah terhadap pembangunan di wilayah tersebut.

Beberapa wilayah yang masih terisolir di Provinsi Banten adalah Cihanggas, Kertajaya, Cipining, Ketapang, Cigerondong, Tamanjaya, dan Paniis. Desa/dusun ini masih sangat minim mendapat bantuan dari pemerintah. Pasokan makanan, susu untuk bayi, tidur di tenda bersama dengan alas seadanya, sementara cuaca pun masih belum bersahabat. Ketakutan yang masih menghantui mereka. Tidak hanya anak-anak, bahkan para orang tua pun belum
berani tidur di rumah mereka karena takut potensi tsunami dan juga karena berita hoaks yang merajalela di tengah- tengah situasi kebencanaan.

Uluran tangan bagi korban bencana kebanyakan berasal dari kalangan relawan suatu lembaga masyarakat. Bantuan pun sering kali lebih banyak diperuntukan bagi orang dewasa, sementara kebutuhan anak-anak dan bayi sangat minim. Bahkan ada relawan yang mengatakan ketersediaan susu sudah habis sampai di kawasan Serang.

Bencana alam yang terjadi di wilayah Banten bukanlah kejadian yang baru pertama kali. Bahkan bisa dibilang untuk yang kesekian kalinya bencana terjadi di Indonesia. Namun, penanganan terhadap korban bencana masih tetap gagap. Masih saja kurang kesigapan menyegerakan bantuan terhadap korban. Anak-anak selalu menjadi korban yang paling menderita di antara orang dewasa yang menjadi korban bencana. Dalam keadaan bencana kebutuhan dan hak anak-anak akan semakin tereduksi.

Pasokan kebutuhan makanan yang selalu diutamakan adalah makanan instan dan berbagai kebutuhan untuk orang dewasa. Kebutuhan untuk anak-anak dan balita sangat minim, bahkan jarang diprioritaskan.

Sementara tubuh anak-anak justru paling rentan terhadap serangan penyakit, sedangkan bantuan korban bencana berupa pakaian anak-anak, selimut seringkali sulit diperoleh.

Apalagi kebutuhan dan juga hak anak untuk bermain, ketika bencana terjadi akses tersebut seringkali hilang. Mereka harus ikut larut dalam keprihatinan yang tidak mereka mengerti. Belum lagi
ketakutan yang menghantui anak-anak akan musibah bencana yang mereka alami, menjadi trauma berkepanjangan bagi masa depan anak-anak.

Kondisi kebencanaan yang dialami dan dirasakan anak-anak bukanlah sesuatu yang baru diketahui. Kondisi yang dialami anak-anak ini pastinya sudah sangat dikenali dan dipahami oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun kondisi buruk yang dialami anak-anak korban bencana terus saja terjadi seperti sebuah pembiaran. Anak-anak yang merupakan tumpuan bangsa di masa depan pun dibiarkan terabaikan hak-haknya.

Buruknya pembangunan infrastruktur telah memberikan efek domino yang signifikan bagi anak-anak ketika terjadi bencana. Anak-anak yang selama ini sudah berada dalam ketidakcukupan akses pembangunan yang layak, ketika ditimpa bencana mereka semakin menderita karena semakin hilang hak-hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kesehatan mereka terancam, gizi mereka pun akan semakin buruk.

Penanganan terhadap korban bencana tidak hanya pemenuhan terhadap kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan papan. Namun para korban bencana tsunami ini pun mengalami kondisi psikis yang terguncang akibat bencana tsunami yang mereka alami.

Mereka butuh penanganan psikososial agar bisa kembali hidup normal. Mereka butuh bantuan tenaga ahli maupun relawan yang bisa menetralkan kembali kondisi mereka dari kondisi psikis yang tertekan yang mempengaruhi aktivitas
keseharian mereka. (*)

*Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI