FPI

Kastara.ID, Jakarta – Keberhasilan Detasemen Khusus (Densus) 88 menggerebek dan menangkap terduga teroris di Condet dan Bekasi, Senin 29 Maret 2021 mengundang sorotan berbagai pihak. Hal ini menyusul ditemukannya sejumlah atribut Front Pembela Islam (FPI) di lokasi tersebut.

Sorotan salah satunya berasal dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3). Salah satu anggota TP3 Abdullah Hehamahua menduga penemuan atribut FPI adalah bagian dari operasi intelejen. Dugaan itu disampaikan Abdullah kepada awak media (30/3) seusai beraudiensi dengan Fraksi PKS DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Abdullah mengatakan, penemuan atribut FPI adalah upaya mengalihkan perhatian dari kasus pembunuhan enam anggota FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang terjadi pada 7 Desember 2020 lalu. Abdullah menambahkan, hal itu juga upaya mengaitkan FPI dengan peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Ahad (28/3).

Abdullah pun membandingkan kesigapan polisi dalam menangkap pelaku bom bunuh diri. Pagi bom meledak, siang sudah ditangkap. Sedangkan penembakan anggota FPI berbulan-bulan hingga saat ini tidak diketahui siapa pelakunya. Menurut Abdullah, fakta ini semakin membuktikan rangkaian kejadian tersebut adalah sebuah operasi intelejen.

Mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengaku sudah sangat mahfum dengan cara-cara semacam itu. Pasalnya operasi intelejen sudah sering terjadi di masa Orde Baru (Orba) dahulu. Bahkan cara-cara operasi intelejen sudah diulas secara gamblang dalam buku yang ditulis mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas.

Anggota TP3 yang lain Marwan Batubara mempunyai pandangan yang sama. Marwan menduga penemuan atribut FPI saat penangkapan terduga teroris hanya rekayasa. Itulah sebabnya Marwan mengaku tidak ambil pusing dengan temuan tersebut.

Marwan menegaskan, pihaknya akan tetap fokus pada upaya penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam peristiwa pembunuhan enam anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek, awak Desember tahun lalu. Menurutnya saat ini yang terpenting adalah mendesak presiden dan DPR menegakkan aturan dal Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 terkait pelanggaran HAM berat.

Marwan mengaku pihaknya tidak sepakat dengan cara yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pasalnya cara tersebut adalah konspirasi dengan penguasa. Sehingga hasil yang diperoleh tidak relevan dengan kejadian atau kasusnya. (ant)