Kastara.id, Jakarta – Penguatan kewenangan DPD RI secara kelembagaan terus mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak. Kali ini dukungan moril datang dari pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie.

Dalam diskusi dan tukar pendapat dengan sejumlah anggota DPD RI yang tergabung dalam Gerakan Nasional (Gernas) Penguatan DPD RI di Hotel Sultan Jakarta (30/8) malam, Jimly dan Yudi Latief menegaskan bahwa sekarang momentum yang tepat untuk penguatan kewenangan DPD RI.

“Sekarang momentum yang tepat penguatan DPD RI. Hampir 12 tahun DPD RI berdiri dan kita bisa evaluasi keberadannya namun ada masalah pada kewenangannya yang tidak jelas. Memilih anggota (DPD RI) mahal sekali, mereka (anggota DPD RI) orang terpilih, orang-orang hebat dari setiap provinsi dan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih sulit dari anggota DPR RI serta dukungan kepada DPD RI lebih banyak pada Pemilu. Jadi tidak fair membiarkan DPD RI seperti sekarang ini,” ujar Jimly.

Diskusi ini dihadiri Koordinator Gernas Penguatan DPD RI Muh. Asri Anas (Sulbar) serta sejumlah senator seperti Darmayanti Lubis (Sumut), Nurmawati D. Bantilan (Sulteng), Syafrudin Atasoge (NTT),  Ahmad Kanedi (Bengkulu), Eni Sumarni ( Jawa Barat), Novita Anakota (Maluku), Denty Eka Widi Pratiwi (Jateng), Anna Latuconsina (Maluku) dan Aji Muhammad Mirza Wardana (Kaltim).

Jimly optimis penguatan DPD RI akan mendapat dukungan luas dari publik. “Sekarang DPR punya banyak masalah. Ada joke (lelucon) lebih baik DPD dibubarkan atau diperkuat. Ini pernyataan memancing tetapi tidak tepat DPD dibubarkan sebab sistem negara kita sangat kompleks luas wilayah besar, dengan penduduk banyak beragam maka kita butuh double representase keterwakilan ganda melalui DPR yakni partai politik dan sistem teritorial kedaerahan DPD,” kata Jimly.

Menurut Jimly, dulu waktu MPR Orde Baru ada anggota parlemen dari utusan golongan untuk mengakomodir kalangan minoritas. Jika amandemen UUD 45 tentang penguatan DPD RI dilaksanakan maka tak ada salahnya, kata Jimly, memasukkan kembali Utusan Golongan ke dalam MPR RI atau bergabung dengan DPD RI. “Soal Utusan Golongan mau diadakan saya kira bagus saja,” ujar Jimly.

Namun Jimly mengingatkan bahwa ada perbedaan Utusan Golongan dulu dan saat ini. Bedanya dulu Utusan Golongan langsung ditunjuk Presiden. Namun nantinya jika disetujui maka Utusan Golongan yang menjadi anggota Parlemen RI berasal dari kelompok masyarakat atau ormas kaum minoritas.

“Mekanisme pemilihan Utusan Golongan dilakukan di komunitas masing-masing misalnya utusan buruh terlebih dahulu melakukan konvensi di organisasinya untuk memilih siapa wakil buruh. Organisasi petani, nelayan, pers, dokter dan sebagainya bisa punya utusan golongan dan dipertimbangkan pula TNI dan Polri (ada utusan golongan) karena mereka tidak ada hak pilih dan memilih (di Pemilu),” kata Jimly.

Menurut Jimly, Utusan Golongan ini bisa dibahas dalam rangka penguatan kewenangan DPD RI dalam amandemen UUD 45. Jika saat ini anggota DPD RI ada empat orang dari setiap provinsi, maka bisa jadi anggota DPD bertambah menjadi lima orang dari utusan golongan. “Atau anggota DPD tiga orang ditambah satu utusan golongan,” ujar Jimly. (rya)